Kalau pengin jadi tukang cerita, harus baca tulisan ini. Penting banget bagi pemula. Kalau gak mau jadi tukang cerita, lewatin aja. Gak ada penting penting nya.
Persoalan tukang bikin cerita itu macem-macem. Ada yang bingung mengawali cerita. Sampai sampai kotak sampah penuh kertas yang dikucel kucel, saking bingung nya bikin awalan sebuah cerita yang menarik.
Ada yang kesukitan ngembangin cerita. Cerita mutar muter gak karuan. Kadang cerita kok sudah selesai, padahal baru satu paragraf. Bahkan kadang cerita sudah selesai waktu masih menjadi gagasan di kepala.
Namun tulisan ini bukan mau bicara semua itu. Tulisan ini justru untuk bilangin cara menutup cerita. Kalau tak bisa menutup cerita akan terlalu panjang, bisa sampe 1001 halaman. Kasihanilah yang baca. Atau yang beli bukunya karena mahal. Apalagi kalo niatnya cuma bikin cerpen.
Pertama, cukup dengan membunuh tokoh antagonis. Terutama terjadi di cerita film film tentang jagoan. Ketika tokoh antagonis sudah KO maka berarti cerita selesai.
Tokoh antagonis boleh sejago apa pun, tapo dia harus rela dimatikan di akhir cerita. Jangan menggunakan cara mengakhiri cerita dengan cara ink untuk persoalan cinta. Kurang greget, masa iya sih cinta bikin mati.
Cenderung tidak alami juga kalo penulis cerita membunuh tokohnya hanya untuk mengakhiri cerita. Seperti pemaksaan kehendak terhadap tokoh. Tokoh hanya sebagai wayang.
Kedua, dengan cara memenangkan tokoh protagonis. Tidak sama dengan cara pertama. Karena dalam cara kedua ini, tokon antagonis belum tentu mati.
Tokoh antagonis cukup dibuat kalah saja. Istilah nya jagoan selalu menang. Karena jagoan yang dijadikan tokoh utama memiliki beban untuk membawa pesan moral. Kalau jagoan kalah berarti pesan moral tak akan sampai.
Masih seperti cara pertama, penokohan dalam cerita terkesan tidak alami. Tokoh masih dibebani oleh penulis cerita.
Ketiga, dengan cara membiarkan nya mengambang. Tokoh utama protagonis tidak menang. Tokoh utama antagonis juga tidak kalah. Apalagi mati.
Model akhir cerita ini, sangat aku gemari. Dalam cara pengakhiran cerita seperti ini, kita tidak pernah membudakkan tokoh dalam cerita yang kita bikin. Tokoh adalah tokoh natural dengan persoalan persoalan mereka sendiri. Bukan persoalan yang dibebankan oleh penulis cerita.
Keunggulan lainnya, sebagai penulis cerita, kita tidak sedang mengarahkan pembaca cerita. Kita mengajak pembaca untuk ikut membuat cerita itu sendiri sesuai dengan konteks masing-masing. Mereka bebas ber interpretasi.
Pembaca tidak kita paksa untuk menikmati sebuah nilai tertentu. Pembaca dipersilakan untuk mengambil nilai jika memang menemukan secara kritis. Kalau cuma bisa menikmati jalan cerita juga tak masalah.
Begitulah sebuah cerita diakhiri. Semoga tidak bermanfaat karena memang sudah biasa. Cuma buat iseng aja. Coba mau nulis apa, wong baru baru bangun tidur?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H