Dan kita sampai malam di sana.Â
Kamu seperti ingin ngomong sesuatu. Tapi, belum juga kamu omong. Aku penasaran juga sebetulnya.Â
Sebetulnya, aku berharap juga sih. Tapi, sudahlah. Nadi sudah menjadi bubur. Lebih kita telan saja.Â
Kemudian kamu antar aku pulang lagi. Aku suka candamu ketika perjalanan pulang waktu itu.Â
Kamu bilang kamu ingin kuliah di kampus di Makassar. Ingin jadi ahli hukum. Biar cepat kaya. Sehingga bisa keliling dunia.Â
Maaf, kalau aku gak sempat memberitahumu saat mendadak harus pergi. Orang tuaku di Padang menginginkan aku pulang. Tak mungkin aku membantahnya.Â
Kamu mungkin marah. Tak apa. Aku memang salah. Aku memang layak dimarahi.Â
Kalau dengan marah kamu bisa kembali menemuiku. Kalau dengan marah kamu bisa mengajakku merayakan tahun baru lagi.Â
Aku dengar dari sepupu ku, kamu tertemukan di reruntuhan rumahmu yang runtuh karena gempa besar kemarin. Kamu sudah dalam keadaan tak sadar.Â
Kata sepupuku juga, kamu sekarang masih dirawat. Kondisi kamu cukup parah. Mungkin hanya keajaiban Tuhan yang bisa diharapkan.Â
Aku kirim surat ini, agar kamu bisa membacanya saat sembuh nanti. Aku yakin, kamu pasti sembuh. Kamu kan kuat.Â