Nenek terbujur kaku di kamarnya. Meskipun kami sudah tahu bahwa ini hari terakhir bisa melihat sorot mata nenek yang selalu menyejukkan tetap kami tak bisa membendung air mata kami.Â
"Sudah disuruh pulang semua? " tanya nenek kemarin sore kepadaku tentang kepastian seluruh keluarga bisa berkumpul pada hari ini.Â
"Sudah, Nek. Semua sudah dalam perjalanan. "
Kemudian minta disuapin bubur ayam kesukaannya. Ukuran kecapnya yang tak bisa ditakar oleh siapa pun. Khusus kecap, nenek akan menuang sendiri dengan ukuran yang pasti.Â
Kemarin nenek makan bubur lahap sekali. Seakan sedang mengatakan bahwa bubur itu merupakan makanan terakhir yang masuk ke dalam tubuhnya. Dinikmati begitu dalam. Begitu khusyuk.Â
"Bilangin Sam, Ripin, Dopar untuk masuk lubang kubur. Sam yang azan dan iqomat. "
Nenek sudah yakin benar jika besok memang jatah kematiannya. Sehingga semua anaknya disuruh pulang. Bahkan anak yang namanya disebut pun sudah punya tugas masing-masing.Â
Mungkin ini yang disebut "weruh sadurunge winarah".Â
Nenek memang rajin puasa. Kadang bahkan puasa Daud. Puasa yang di selang seling dengan tidak puasa. Misalnya hari ini puasa besok tidak puasa, besoknya lagi puasa.Â
Bahkan pernah puasa 40 hari full. Bukan bulan Ramadhan lho. Pernah juga puasa tanpa makan garam.Â
"Perut kita yang sering menjadi penghalang penglihatan kita, Ri, " kata Nenek suatu hari.Â