Tak ada yang lebih indah melebihi hujan bulan Januari, suara rintiknya yang ritmis menelusupkan cinta mengusir sepi.
Itu puisi yang selalu kau bisikan di telingaku ketika aku merindukanmu. Selalu. Dan selalu. Sampai aku bingung sendiri, sebetulnya sedang merindukanmu atau bisikkan puisimu itu.Â
Kamu suka hujan?Â
Aku selalu mengangguk sambil terus memejamkan mata menikmati suara jari jari hujan mengetuk ngetuk apa pun yang ada di sekitar kita. Dan kamu pun kemudian duduk memejamkan mata sambil pura pura ikut menikmati nya.Â
Bagaimana aku tak suka hujan. Karena hujan juga aku ketemu kamu kan?Â
Sore itu, aku malas pulang. Bukan hanya karena macet tapi juga karena mendukung menggelayut yang sebentar lagi akan tercurah ke seantero Jakarta.Â
Entah kenapa aku pengin ngopi di kafe itu. Sengaja aku memilih meja paling ujung agar aku dapat melihat hujan. Tapi, aku waktu belum begitu menyukai hujan.Â
Lalu, kamu datang. Memperkenalkan diri kemudian kita bercakap hingga larut malam. Seakan kita sudah kenal begitu lama.Â
Kamu suka hujan?Â
Kalimat itu yang masih aku ingat hingga kini. Kau bertanya dan aku hanya mengangguk, mengiyakan, walaupun masih belum yakin benar. Anggap saja untuk menyenangkan mu yang menganggap setiap orang yang melihat hujan sebagai mencintainya.Â
Setahun kemudian. Hujan Januari kamu datang bersama orang tuamu melamarku. Ya, kamu masih bertanya juga.Â
Kamu suka hujan?Â
Kamu bilang kamu ingin menikah ketika masih musim hujan. Karena menurutmu hujan diturunkan untuk para pengantin baru yang ingin berlama-lama dalam kemalasan.Â
Kamu tahu sekarang juga sedang hujan. Aku duduk di kafe tempat kita bertemu dulu. Sendirian. Mengenangmu yang selalu ingin membawakan hujan untukku.
Nanti aku akan bawakan hujan sebagai mas kawin.Â
Tapi hujan juga yang kemudian merenggutmu. Kamu pulang malam saat itu. Dan hujan sudah mulai mengguyur Jakarta. Pandangamu tak begitu jelas kalau malam, apalagi hujan.Â
Tapi kau tetap ingin pulang. Dan itulah jalanmu. Wahai pecinta hujan.Â
Kamu suka hujan?Â
Aku ingin mendengarkan pertanyaan itu saat ini. Tapi engkau tak mungkin datang ke kafe ini untuk membisikkan pertanyaan itu.Â
Semoga di sana juga ada tetes tetes hujan. Agar kamu tak serindu aku jika melihat hujan.Â
Kamu suka hujan?Â
Aku mendengar bisikkan itu saat mataku terpejam. Kaukah itu?Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H