Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ada yang Meninggal?

12 Januari 2021   06:34 Diperbarui: 12 Januari 2021   06:35 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kamdi bingung harus mencari uang ke mana, ketika bininya bilang beras tinggal cukup untuk makan hari ini. Sebagai kuli bangunan, kerjaan Kamdi benar-benar tergerus Korona. Banyak proyek yang ditunda pelaksanaannya. 

Kalau proyek bisa ditunda karena korona, tapi untuk makan kan tidak mungkin ditunda meski cuma sehari.  Jangan sampai aman dari korona tapi tak aman dari kelaparan. 

"Ada kerjaan, Jo? " tanya Kamdi sama Parjo. 

Tapi Parjo pun cuma bisa geleng kepala. Biasanya sama Parjo memang silang kerja. Kalau Parjo lagi ada kerjaan terus ada tawaran baru tawaran itu pasti dilempar ke Kamdi. Sebaliknya juga gitu. 

Sekarang sama sama tak punya kerjaan. Mau pinjam uang juga tak mungkin. Parjo juga paling lagi kesulitan uang. Tapi, Parjo agak untung dikit karena bininya punya warung kelontong, walaupun kecil. 

"Ada kerjaan? "

Pertanyaan itu juga Kamdi pada beberapa teman yang suka nongkrong di warkop. Tapi mereka juga cuma bisa geleng. 

"Kalau ada kerjaan, gue juga gak di sini, Di. "

Aduh, kalau sudah begini mesti gimana? Kalau harus maling atau rampok gak mungkin lah. Jelek jelek begitu, Kamdi dulu rajin ngaji waktu masih di kampung. Dan hukuman nyolong atau ngerampok itu cuman atu, neraka Jahannam. 

Kamdi tak ingin masuk neraka Jahannam yang kata ustadnya apinya gak pernah padam itu. Tapi, Kamdi juga tak ingin keluarga nya kelaparan. 

"Assalamu'alaikum...... "

Ada pengumuman kematian dari musola dekat warkop. 

"Siapa tuh? "

"Dirman."

"Korona? "

"Sakit. Udah tua juga. "

Ketika denger dialog itu, Kamdi langsung punya rencana. Dan dia mulai memikirkan cara ngomongnya. Mudah mudahan lancar. 

"Begini Rio, sebetulnya gak enak juga ngomongnya. Tapi bagaimana pun juga saya tak ingin teman baik saya ini bermasalah di alam sana, " kata Kamdi kepada Rio, putra tertua Dirman. 

"Berapa tanggungan bapak saya, Om? "

"Tidak banyak. Waktu itu katanya lagi kepepet. Aku juga lagi tak punya duit banyak. Cuma 500 rebu. "

Kamdi pulang ke rumah sambil bersiul sore itu. Ya, Kamdi sudah bisa beli beras untuk keluarga nya. 

Tapi Kamdi juga berjanji, suatu saat akan balikin tuh duit. Dirman memang tak pernah berhutang padanya, tapi Kamdi lagi butuh duit. Sehingga kesempatan ini terpaksalah dilakukan nya. 

Hanya saja, beberapa waktu kemudian Kamdi sering nanya dan selalu tersenyum kalau ada berita meninggal. 

"Ada yang meninggal? "

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun