Setelah tamat SMA, dia tak bisa kuliah karena orang tuanya miskin. Ketika diterima bekerja di sebuah restoran sebagai pelayan, dia senangnya setengah mati. Bisa membantu ekonomi orang tuanya.Â
Ketika pandemi datang, dia mulai khawatir akan terkena PHK karena larangan demi larangan yang harus ditaati oleh restoran tempat dia bekerja. Bahkan setiap kali rasa dah dig dug itu tak bisa pupus karena setiap pelanggaran akan mendapatkan sanksi tegas. Ditutup.Â
Dia bersyukur sampai saat restoran masih berjalan. Tapi, pembatasan waktu buka hanya sampai pukul 19 saja sudah mengikuti memukul keuangan restoran. Kadang dia juga merasa kasihan pada bosnya.Â
Kalau pembatasan jam buka saja sudah bikin kelimpungan pemilik restoran, apalagi kalau betul-betul ada lock down. Entah apa yang akan terjadi. Mungkin restoran akan tutup. Dan dia harus menganggur lagi. Justru di saat keluarganya memerlukan bantuan nya.Â
Maka dia tak setuju pembatasan waktu buka. Apalagi lock down. Sangat tidak setuju.Â
Semakin banyak orang yang tertular covid? Bukan karena restoran resmi seperti tempat dia bekerja yang menjadi sebab. Restoran sudah sangat ketat memperlakukan protokol kesehatan. Sangat ketat. Kemungkinan terjadi penularan di restoran sangat kecil.Â
Protokol kesehatan justru diabaikan di warung warung kecil. Mereka tidak menjaga jarak. Mereka bahkan ngobrol tanpa masker.Â
Protokol kesehatan justru diabaikan di gang gang sempit. Anak anak berlari ke sana ke mari tanpa masker sama sekali.Â
Artinya, di luar sana, bahaya covid begitu besar tapi diabaikan. Terutama juga oleh petugas yang terlalu fokus pada tempat tempat resmi seperti restoran tempat dia bekerja.Â