Laki-laki itu bernama Sarno. Iya, Sarno. Wajahnya penuh dengan aroma penyesalan yang tak mungkin ditanggung siapa pun.Â
Laki-laki itu sedang duduk sendiri di ruang tamu rumahnya yang cukup mewah untuk penduduk kampung kecil di lereng gunung Slamet. Â Sorot matanya kadang tampak berbinar tapi kadang mendadak ciut dan penuh dengan air mata.Â
Suasana hati Sarno memang sedang galau. Anak keduanya baru saja bunuh diri lagi. Dan tak ada yang tahu penyebabnya.Â
Anak perempuan itu mendadak sontak jadi pendiam. Dan selalu bicara sendiri.Â
"Mungkin diputus pacarnya? "
"Belum pernah pacaran."
"Kamu yang tidak tahu, mungkin. "
"Selama ini dia selalu cerita apa saja. "
Tapi memang kejadian nya mirip banget dengan apa yang dilakukan anak pertama nya. Laki-laki yang baru lulus kuliah itu memang sibuk mencari kerja. Belum juga dapat.Â
Kemudian dia sering bengong dan tampak ngomong sendiri. Sarno waktu itu menganggap anak pertama nya cuma pusing dengan lamaran kerja yang ditolak melulu.Â
Sarno baru kaget ketika di suatu sore yang cerah. Ada berita anak pertama nya harus dilarikan ke rumah sakit karena menggorok lehernya sendiri. Pisau dapur ibunya yang dipergunakan untuk melakukan bunuh diri.Â
Sekarang Sarno yang mulai duduk sendiri tak mau kalau ada yang menemani. Jika ada yang ngajak ngobrol, langsung diusirnya karena dia mulai sibuk dengan orang yang tak pernah bisa dilihat oleh orang lain.Â
"Harusnya aku tolak saja, ya. "
"Kenapa aku tak berpikir panjang? "
"Untuk apa semua ini? "
Mungkin kalian belum kenal banget keluarga Sarno. Dia itu pengusaha warteg terkenal. Paling tidak, di kampung nya sendiri. Warteg nya ada sepuluh. Tersebar di Jakarta, bekasi, Tangerang, bahkan dua ada di Bandung.Â
Semua orang di kampung nya memang sempat takjub. Karena usaha warteg Sarno mendadak laris manis. Â Sehingga omzet juga melonjak.Â
Dan persaingan di antara pemilik warteg kabarnya memang persaingan di dunia lain. Jangan berani beraninya bermain warteg kalau tak punya cantolan apa apa.Â
Warteg yang tak punya cantolan, penampilan akan terlihat suram dan jorok. Tak ada orang yang mau mampir.Â
Dan, Sarno kabarnya punya cantolan yang hebat. Hingga setiap bikin warteg baru selalu terlihat moncer.Â
"Cuma kasihan anak anaknya. Jadi korban ambisi bapaknya. "
"Memang benar begitu? "
"Memang bisa kalau tidak begitu? "
Dan sore tadi, menjelang Magrib, Sarno masih duduk sekali. Beban penyesalan nya tampak begitu berat. Mungkin Sarno sudah semakin rapuh untuk menanggung beban berat itu.Â
Siapa sih yang bisa hidup begitu?Â