Ada yang berubah dari Jokowi. Sekarang terlihat tampak kurang sabar lagi. Sekarang tampak terburu buru. Padahal, saya yakin jika Jokowi sangat paham tentang demokrasi yang sangat perlu kesabaran. Kesabaran mendengarkan suara rakyat.Â
Contoh pertama, tentang UU KPK. Sangat mengecewakan karena terlalu terburu buru disahkan. Padahal, suara suara masih belum bisa memahami urgensi perubahan kecuali arah yang menuju kehancuran.Â
Contoh kedua, tentang UU MK. Ini juga tampak buru burunya. Seakan tak sempat lagi mendengarkan suara rakyat yang dipimpinnya.Â
Contoh ketiga, tentang UU Cipta Kerja. Sebuah kerja yang sangat sembrono. Bahkan hari ini Kompas memuat berita simpang siur nya naskah yang benar dan dapat dipercaya. Ada banyak variasi naskah yang bahkan secara substantif berbeda, padahal UU tersebut sudah disahkan.Â
Saya, dan mungkin banyak juga yang lain yang kemudian bernostalgia dengan masa lalu. Ketika Pak Jokowi masih memimpin sebuah kota kecil di Jawa Tengah sana.Â
Cerita tentang pemindahan para pedagang dari kawasan Monumen Banjarsari menuju pasar Klitikan Notoharjo. Bahkan cerita ini menginspirasi banyak orang tentang kesabaran seorang birokrat dalam bekerja berhadapan dengan rakyat kecil yang dipimpinnya.Â
Pemindahan dari tempat kumuh ke tempat baru itu memang agak jauh. Hampir semua pedagang menentang rencana pemindahan itu. Bahkan ada yang sampai membawa bambu runcing segala.Â
Apakah Jokowi menggusur mereka, para pedagang itu, dengan menggunakan kekuatan satpol PP? Ternyata tidak! Jokowi memindahkan para pedagang itu dengan hati dan kemanusiaan.Â
Berapa waktu yang dibutuhkan Jokowi untuk memindahkan pedagang?Â
Bukan waktu yang pendek. Bukan sehari dua hari. Bukan seminggu dua minggu. Proses pemindahan pedagang perlu waktu 7 bulan. Sekali lagi, tujuh bulan. Waktu yang amat sangat panjang bagi pejabat yang grusa grusu tanpa mempedulikan hati.Â
Tapi Jokowi sabar. Tidak grusa grusu. Kemanusiaan beliau letakkan di atas kekuasaannya. Kemanusiaan betul-betul ada di dalam setiap langkahnya.Â
Pendekatan personal dilakukan. Dialog tak pernah henti. Dialog yang benar-benar dialogis. Bukan dialog yang monolog. Bukan dialog yang berisi ancaman ancaman. Bukan dialog yang diawasi pasukan berseragam.Â
Dimana dialog dilakukan oleh seorang walikota?Â
Jokowi mengundang para pedagang datang ke kantor walikota. Mereka bukan hanya diajak ngomong, tapi juga diajak makan. Jokowi mengundang dalam sebuah perjamuan. Manusiawi sekali. Sulit dicari bandingannya. Di kolong langit yang sebelah mana pun.Â
Terus kami tanya berapa kali undangan perjamuan itu dilakukan?Â
Mungkin kamu akan kaget sendiri. Karena Jokowi mengundang para pedagang ke perjamuan di kantor walikota lebih dari 59 kali. Lebih dari 50 kali. Jumlah yang mungkin tak akan ada yang bisa mengalahkan.Â
Pedagang minta jaminan omzet tak turun. Dan sekarang mereka sejahtera di Pasar Klitikan. Jauh berlipat lipat pendapatannya. Mereka bahagia. Mereka bangga. Mereka selalu mengenang peristiwa itu sepanjang hayatnya.Â
Apalagi peristiwa pindahnya yang dibarengi dengan arak-arakan. Satu Indonesia bangga.Â
Dan kenapa sekarang menjadi begitu beda. Mengapa Pak Jokowi terkesan tak memiliki kesabaran lagi?Â
Mungkin kah berubah? Atau memang Jakarta memang beda?Â
Aku masih merindukan saat-saat seperti itu. Saat saat seorang pemimpin mau mendengarkan suara suara lirih rakyat nya. Suara suara yang sudah lama diabaikan.Â
Selamat sore, Pak Presiden.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H