Terus temanku diam. Sepertinya sedang menghitung gajiku ngajar di sekolah swasta. Jangan bilang 1500 rupiah kecil. Kalau dibandingkan sekarang ya, kecil memang, tapi Zaman Orba segitu sudah dianggap standar.Â
"Berarti gajimu 150.000 sebulan dong?"
Sebagai perbandingan. Zaman itu, gaji guru PNS sarjana lulusan IKIP yang biasanya baru dibayar 80 persennya cuma 120 ribu rupiah. Sehingga, angka 150 ribu lebih besar dari gaji PNS baru.Â
"Salah hitung loe."
"Emang gaji guru ngitungnya gimana? Bukannya 1500 x 25 x 4 minggu dalam sebulan?"
"Itulah manipulatifnya gaji guru swasta yang dihitung per jam. Jumlah jam seminggu yang 25 jam tidak dikalikan jumlah minggu."
"Gaji seminggu untuk sebulan?" tanya temanku mulai heran dan mulai faham kenapa waktu itu menjadi guru adalah pilihan sesat kecuali orang orang yang jiwanya sudah guru buanget seperti diriku ini.Â
"Iya. Ngeselin, kan?"
"Pantesan kamu ngajar banyak sekolah."
Itu sejarah saya dulu. Untung sekarang sudah PNS. Di DKI Jakarta pula. Jadi, bisa berbangga dan menepuk dada.Â
Tapi, rasa pedih kadang muncul ketika ngumpul bareng guru-guru sekolah swasta. Mereka masih digaji berdasarkan jam yang manipulatif tersebut.Â