Akhirnya, anakku mengambil jurusan farmasi di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Pilihan yang sudah diinginkan sejak lama. Paling tidak, ada gambaran ke mana jalan hendak dikembalikan tuju, empat tahun ke depan.Â
Dan entah kenapa, ia mulai melirik sebuah ruang kosong di samping kamarnya di lantai dua rumah kami.Â
"Ayah, gak dipakai apa apa nih ruangan? " tanyanya sore itu.Â
Aku cuma mengangguk karena tak punya ide untuk memanfaatkan ruang kosong itu. Â Di sebelah nya sudah dipakai adiknya untuk memelihara burung parkit . Masih ada 1 meter kali 4 meteran dibiarkan tanpa idi apa apa.Â
"Sayang, Yah. "
"Terus? "
"Kalau buat tanam bunga, boleh? "
"Bunga apa? "
Tak langsung menjawab. Mungkin dia bingung sendiri. Walaupun perempuan, dia sepertinya kurang suka bunga. Bunga bundanya saja beberapa mati karena lupa mrnyiram.Â
"Sudah ketemu, Yah, " suara anakku suatu sore yang lain.Â
"Apa? "
"Tanaman untuk ruang sebelah burung. "
"Mau kamu tanami bunga apa? "
"Bukan bunga, Yah. Aku mau tanamin tanaman obat obatan. Mau aku jadiin apotek hidup mini. "
Dua hari kemudian sudah datang paket. Dan ternyata tanaman. Â Saya yang menerima nya. Aneh. Kok ada yang pesan tanaman.Â
"Siapa pesan tanaman? " tanyaku.Â
"Kakak, Yah. "
"Oh. "
Dan mulai saat itu, mulai berdatangan tanaman brotowali, sereh merah, dan entah apalagi.Â
Ruang itu sekarang hijau. Dan dia mulai mempraktikkan ilmu farmasinya.Â
Mudah mudahan kalau pusing atau sembelit cukup mrmetik daun di ruang samping rumah.Â
Lumayan juga. Rumah lebih hijau....Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H