Perempuan itu masih duduk di situ. Di sebuah halte bus yang sudah mulai lapuk film beberapa sisinya. Sementara gerimis memberikan nya nyanyian paling merdu.Â
"Mari, " sapa seorang laki-laki ketika melewati perempuan itu.Â
Perempuan itu hanya mengangguk dan tersenyum. Senyumnya memang agak dipaksakan.Â
Laki-laki kedua yang melewati perempuan itu, tidak berusaha bersopan-santun lagi. Karena dia yakin perempuan itu perasaannya entah sedang di mana.Â
"Menunggu seseorang, Bu? " tanya perempuan pemulung yang sering tinggal dan tidur di halte itu.Â
Perempuan itu mengangguk.Â
Tak ada lagi dialog lain. Â Gerimis sudah berubah menjadi hujan yang agak lebat. Beberapa orang sempat ikut berteduh di halte itu. Tapi, mereka semua segera bergegas saat kendaraan yang dutunggunya datang.Â
Perempuan itu masih duduk. Sendiri. Bahkan ketika hujan sudah kelelahan mengguyur tempat itu dari sore.Â
Pandangan entah menerawang ke mana. Tak ada yang bisa menebaknya.Â
Seminggu lebih perempuan itu duduk di halte. Â Tak terlihat dia makan. Tak terlihat dia minum. Baju yang dikenakan juga masih sama.Â
Ketika Satpol PP dilapori tentang perempuan yang duduk di halte berhari-hari. Segerombolan satpol PP langsung datang ke tempat itu.Â
Mereka memaksa perempuan itu naik ke mobil.Â
"Mau dibawa ke mana, Pak? " tanya pemulung yang sering tinggal di halte tersebut.Â
"Ngapain dia? " Satpol PP yang ditanya malah balik bertanya.Â
"Dari kemarin dia nungguin Pak Terawan. "
"Pak Menkes? "
"Meneketehe, " jawab perempuan pemulung sambil ngeloyor pergi.Â
Dan satpol PP cuma bisa geleng-geleng kepala.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H