Isu penghapusan mata pelajaran sejarah sebagai pelajaran wajib di SMA terus bergulir. Bahkan petisi di Change.org yang meminta Presiden Jokowi mengembalikan pelajaran Sejarah sebagai pelajaran wajib sudah ada dan sudah ditandatangani 9 ribu lebih orang.Â
Keluhan yang sudah berpuluh-puluh tahun tapi tak pernah selesai adalah mengenai beban kurikulum yang terlalu berat. Beban kurikulum yang berat ini terutama terjadi di sekolah dasar, SMP, dan SMA.Â
Bahkan sering muncul karikatur anak SD yang keberatan membawa buku buku pelajaran ke sekolah nya. Bahkan kenapa orang Indonesia pendek juga disebabkan karena beban tas yang melebihi kemampuan punggung nya untuk membawa buku ke sekolah.Â
Hasrat setiap ahli bidang tertentu yang selalu menganggap bidang keahlian sangat penting memang wajar. Bukan masalah sama sekali. Menjadi masalah ketika hampir semua ahli bidang tertentu berlomba lomba memasukan bidang keahliannya ke dalam kurikulum.Â
Sehingga kurikulum menjadi terlalu gemuk. Sehingga kurikulum sangat membebani peserta didik. Sehingga peserta didik kehilangan kebutuhan dirinya sendiri.Â
Mungkin generasi kolonial masih ingat ketika sekolah dulu disuruh menghafal nama nama menteri kabinet. Â Mungkin juga masih ingat ketika disuruh menghafal nama nama gubernur di seluruh provinsi yang ada di Indonesia.Â
Apa pentingnya penghafalan nama nama itu jika bukan sampah otak saja. Otak anak negeri ini dipakai untuk menumpuk sampah.Â
Keluhan beban kurikulum yang berat bukannya menjadikan kurikulum semakin ringan. Alih alih dikurangi. Hampir pada setiap pergantian kurikulum selalu tambahan beban. Setiap pergantian kurikulum selalu muncul desakan dari berbagai macam pihak. Dan akhirnya, kurikulum semakin gendut saja.Â
Dan derita anak anak semakin menyedihkan.Â
Padahal kurikulum 13 saja bisa disederhanakan. Â Kurikulum darurat covid dapat menjadi contoh bahwa materi tertentu dapat dihilangkan. Â Dan memang tidak terlalu penting. Bahkan pengulangan sebuah materi masih banyak terjadi. Materi A, ada di kurikulum SD, kemudian muncul pula di SMP, dan muncul lagi di SMA.Â
Sebaiknya, pengulangan materi tidak diperlukan. Walaupun alasannya pendalaman, tetap saja tidak diperlukan. Kalau materi yang berat sebaiknya letakkan saja di sekolah tertinggi, SMA misalnya. Sehingga anak SD tak perlu diberikan beban materi tersebut.Â
Pengurangan mata pelajaran juga tidak pernah tercapai. Selalu saja terjadi penolakan dari kalangan yang merasa dirugikan jika mata pelajaran itu dihilangkan. Padahal, sudah bertahun-tahun anak anak dirugikan dengan jumlah pelajaran yang terlalu banyak.Â
Pengalihan pelajaran sejarah dari wajib menjadi pilihan saja sudah bikin geger. Apalagi jika dihilangkan.Â
Padahal sejarah kan bisa digabungkan dengan PKn, misalnya. Bahkan materi materi tertentu bisa masuk pelajaran bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.Â
Untuk SMP dan SMA, jumlah mata pelajaran sebaiknya tak lebih dari lima pelajaran. Â Proses pembelajaran nya yang harus lebih mendalam. Sesuai dengan minat.Â
Alangkah kasihan jika generasi muda kita terlalu banyak dibebani pengetahuan yang belum tentu ada manfaat nya bagi masa depan mereka. Apa seorang anak yang berhasrat ingin menjadi musisi harus capek Capek belajar matematika?Â
Yah, mari kita sadari bersama bahwa pendidikan itu untuk anak-anak kita. Pikirkan kebutuhan mereka untuk masa depan nya. Bukan malah memikirkan ego sendiri.Â
Sudah saatnya beban kurikulum dikurangi. Tanpa itu, pendidikan akan semakin membosankan bagi generasi muda kita.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H