Kamdi sudah jadi ustad. Sekarang tinggal di Musola karena Kamdi tak bisa lagi bayar kontrakan sejak korona. Yang punya kontrakan tidak masalah Kamdi ngutang bayar kontrakan, tapi Kamdi tak mau punya utang. Takut mendadak mati terus masih punya utang. Bisa terjauh kan dari Surga yang selama ini dirindukan nya.Â
Akhirnya, Kamdi tinggal di musola. Sekalian menjadi marbot musola kecil yang ada di gang sempit itu. Apalagi Kamdi tak mungkin berdagang sate kikil keliling kampung.Â
Bacaan Kamdi tidak bagus bagus amat, tapi jika ustad Somad berhalangan ke Musola, hanya Kamdi yang bisa dan berani menggantikan beliau sebagai imam solat jama'ah.Â
Belum semua memanggil Kamdi sebagai ustad, tapi kopiah hitam yang selalu nungging di kepala Kamdi membuat Kamdi semakin percaya diri sebagai ustad. Â
Sebagai seorang ustad, Kamdi selalu mendukung program pak erte sebagai representasi pemerintah. Ketika pak erte menganjurkan seluruh warga memakai masker dan jaga jarak, ustad Kamdi selalu melakukan hal tersebut, di mana pun dia berada.Â
Bahkan di depan musola disediakan tempat cuci tangan hasil karya Kamdi. Sehingga orang yang hendak solat pun harus cuci tangan terlebih dahulu.Â
Bukan tanpa masalah. Kamdi yang selalu ngomel jika ada orang yang masuk musola tanpa cuci tangan, atau datang ke musola tanpa masker, malah diledek sama anak anak. Kalau orang tua sih cuek saja terhadap ocehan ustad Kamdi.Â
"Korona takut ke sini, " kata Pak Salikin.Â
"Iya, wajah kamu kan sudah menakutkan, Mdi, " tambah Falihin.Â
"Santai saja, Ustad. Korona sudah gue tendang tadi, " tambah anak anak sambil tertawa.Â