Persoalan agama tentu bukan persoalan biasa. Â Tidak boleh persoalan agama diserahkan kepada orang yang tidak tahu tentang agama. Tak mungkin jika membaca Al-Quran saja masih salah, hanya karena kenekadan semata, terus dibiarkan berceramah tentang agama. Hanya dengan alasan bahwa kita harus menyampaikan walau hanya satu ayat.Â
Apalagi jika ada mualaf yang baru belajar agama, kemudian digadang gadang untuk berceramah. Maka isi ceramah nya tak ada kecuali serangan membabi buta terhadap agama yang sudah ditinggalkan nya. Padahal, hal  yang demikian justru dilarang oleh ajaran-ajaran agama mana pun. Anehkan?Â
Ada juga seorang yang sok tahu tafsir daripada orang yang sudah menggeluti ilmu itu puluhan tahun. Hanya karena dia pandai bicara. Apa yang keluar dari mulutnya hanya lah busa busa. Bahkan ketika diingatkan kesalahannya oleh mereka yang ahli di bidang tersebut, malah mencak mencak.Â
Ya, para penceramah dadakan yang bahkan cenderung bermental seleb, lebih mementingkan penampilan belaka. Â Sehingga terlalu banyak orang awang terkecoh. Â Misalnya dengan tanda ketaqwaan di wajah, disalahkan menjadi jidat dijedot jedotin biar hitam.Â
Sehingga, sangat penting dan harus ada upaya penyesatan penyesatan ini. Â Penceramah agama harus orang yang sudah benar-benar memahami agama. Bukan orang yang cuma bisa ngibul dengan ocehan kosong tanpa dasar.Â
Dan mulai September ini, Kementerian Agama akan melakukan program penceramah bersertifikat. Hal yang jelas harus didukung agar kesalahan pemahaman keagamaan dapat dihindari.Â
Walaupun ada oknum dari MUI yang bersuara keras, tapi itu hanya oknum belaka. Tidak berkaitan sama sekali dengan lembaganya.Â
Umat harus diselamatkan dari demagog demagog yang tidak bertanggungjawab. Mereka bersembunyi di balik jubah agama palsu. Sehingga harus dikuak agar tak terjadi penyelewengan.Â
Agama dan tafsir atas teks teks agama tidak boleh diserahkan kepada orang-orang yang tidak tahu hal tersebut. Â Jangan sampai tafsir ajaran dibiarkan dilakukan justru oleh orang yang membaca huruf-huruf kitab suci saja masih jauh dari bisa, apalagi lancar dan benar.Â
Sudah saatnya, umat diberikan ajaran agama oleh mereka yang benar benar ahli dan memahami agama. Bukan mereka yang baru setahun dua tahun membaca terjemahan kitab suci yang dibuat oleh kemenag. Karena keterbatasan bahasa Indonesia sendiri, sehingga kata kata terjemahan tidak dapat mewakili arti kata itu sendiri dengan lengkap.Â
Ya, benar. Jika untuk membangun sebuah jembatan saja kita memerlukan ahli di bidang tersebut, kenapa kita selama ini menyerahkan persoalan agama kepada orang-orang yang baru bisa membaca alif, ba, ta?Â
Ada kemungkinan penyelewengan program ini menjadi membesarkan otoritarianisme negara. Untuk yang ini, mari kita awasi juga. Dua duanya menjadi hal yang penting.Â
Semoga negeri ini tak lagi diberisiki oleh suara suara kebodohan. Agama sudah menjadi sarana pencerdasan umat.Â
Mereka yang modal ilmu agama cuma sedikit, lebih baik mundur dan pergi mencari profesi lain. Atau kembali lagi ke profesi sebelumnya, walaupun profesi itu sudah tak lagi bisa menghasilkan uang. Yang tadinya motivator ya kembalilah menjadi motivator, tidak usah merasa tahu agama. Yang tadinya cuma seorang sales, kembalilah menjadi sales lagi, tak usah meneruskan menjadi sales agama.Â
Sehingga agama akan menentramkan, bukan menggelisahkan. Agama akan mendamaikan bukan sumber teriakan bising adu domba.Â
Demikian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H