Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Gaya "Ngeles" Nadiem Menyedihkan

9 Agustus 2020   05:31 Diperbarui: 9 Agustus 2020   05:24 1215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhirnya, jebol juga pertahanan Nadiem. Tidak setegar yang kita saksikan selama ini. Apakah ini karena hantaman Muhammadiyah, NU, dan PGRI? 

Saya pikir Nadiem akan cuek pada teriakan teriakan dari mereka yang tak punya visi pendidikan yang jelas. Saya pikir Nadiem sudah yakin dengan apa yang diputuskan sehingga tak mungkin ada ombak yang akan mampu menggoyahkan ketegarannya. 

Ya, Nadiem sedang tak mau disalahkan. Apalagi kalau harus menerima hujatan sendirian.  Lebih baik, Nadiem menggunakan ilmu "ngeles".  Selamat kursinya tapi kemungkinan justru akan mencelakakan banyak generasi muda kita. 

Apa sih? 

Sekolah di zona kuning diperbolehkan untuk tatap muka. Padahal, demi keselamatan anak anak, hanya sekolah di zona hijau yang diperbolehkan untuk tatap muka. Itu pun tetap harus mengikuti protokol kesehatan yang ketat. 

Kalau ada akibat dari pembukaan sekolah di zona kuning? 

Nadiem tidak salah. Inilah gaya "ngeles" yang saya maksudkan.  Karena sekarang keputusan untuk membuka ada di pemerintah daerah.  Silakan putuskan oleh daerah masing masing. 

Sebetulnya, ada bagusnya jika urusan pendidikan diserahkan saja ke daerah-daerah. Karena persoalan di setiap daerah memang sangat berbeda. Sehingga dalam menyikapi sebuah persoalan, tak harus seragam. Sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. 

Akan tetapi, kegenitan terkadang muncul mengikuti.  Penguasa daerah yang merupakan raja raja kecil memasukkan unsur politik ke dalam pendidikan yang sudah menjadi kewenangan mereka. Keputusan pendidikan tak lagi berdasarkan kepentingan pendidikan tapi sudah jatuh ke bagaimana kepentingan politik kepala daerah tersebut. 

Ya, sudahlah. 

Saya sendiri sedih dengan gaya "ngeles" Nadiem ini. Seolah-olah hanya untuk menyelamatkan kursi belaka.  Persoalan pembelajaran jarak jauh sudah bukan lagi menjadi urusan seorang Menteri Pendidikan dan kebudayaan. Persoalan pembelajaran jarak jauh sekarang sudah menjadi persoalan para wali kota atau bupati untuk tingkat pendidikan dasar. Sedangkan untuk sekolah menengah ada di pundak para gubernur. 

Ada lagi yang nanti akan mengganjal. Karena jika ada orang tua tak setuju maka tak boleh dipaksakan.  Terus, dari hampir seribu orang tua dalam sebuah sekolah jika ada satu orang saja tak setuju sementara yang lain setuju tatap muka, bagaimana menyelesaikan hal seperti ini? 

Bola panas sudah dilepas oleh Menteri.  Dia sudah aman dan nyaman di singgasananya.  Tapi persoalan akan terus terjadi. Dan entah nasib anak anak itu. 

Haruskah kita lepas anak anak di zona kuning bersekolah kembali? Sudah amankah? 

Entah. Karena negeri ini sudah kehilangan orang orang hebatnya.  Yang tertinggal hanya mereka yang tak lagi jelas kelaminnya. 

Menyedihkan. 

Tapi itulah faktanya. Dan saya lalu teringat Bung Mokhtar Lubis ketika beliau membuat ciri-ciri manusia Indonesia yang menggemparkan itu. Banyak yang menolak, tapi diam diam membenarkan. 

Selamat ulang tahun ke-75 untuk negeriku tercinta. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun