Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Terlena Rasa Aman Palsu?

5 Agustus 2020   05:58 Diperbarui: 5 Agustus 2020   12:13 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah terkurung selama beberapa bulan dalam kebosanan, hasrat untuk keluar dari situ semakin membesar. Dan memiliki kecenderungan asal keluar tanpa menghiraukan keamanan diri. 

Kita mulai melihat begitu percaya dirinya orang orang di jalanan dan di tempat-tempat umum lainnya. Seolah-olah sedang berkata bahwa kita semua telah aman. 

Benarkah? 

Kalau rasa aman palsu, benar.  Kita sedang dalam terlena oleh rasa aman palsu. Rasa aman tanpa dasar. Rasa aman yang cuma seolah olah. 

Yang penting pakai masker.  Demikian banyak beredar.  Kalau sudah memakai masker, maka kita aman dari ancaman covid 19.  

Maka di kendaraan, di pasar, di perkantoran pun sudah mulai terasa kenormalan dalam rasa aman palsu ini.  Kita terlena untuk menjaga jarak. Kita terlena untuk selalu cuci tangan. 

Bahkan, di pasar tradisional pun semakin terlihat keengganan untuk memakai masker. Masker dicantolin hanya sekedar menghindari hukuman atau teguran petugas.  Tanpa teguran atau pengawasan dari petugas, masker saja sudah menjadi semacam gangguan. 

Bahkan kampanye serta demi anti masker sudah mulai merasuk ke Negeri ini. Mereka merasa aman selama ini. Walaupun cuma rasa aman palsu. 

Obat obat herbal yang diklaim sebagai mampu menangkap covid pun seolah oleh benar adanya.  Sikap kritis hilang begitu saja.  

Mengenai obat herbal yang suka ditemukan oleh entah siapa, saya sendiri suka tersenyum sendiri.  Ingat para mualaf yang suka merasa sudah jago agama dalam hitungan hari. Sehingga mereka berdakwah dalam kebodohan yang dianggap sebagai kepandaian.  Bahkan ahli tafsir yang sudah bergumul dengan Al Quran berpuluh-puluh tahun dianggap kurang mampu dibanding si mualaf dadakan. Kalau ada orang percaya mualaf daripada ahli tafsir kan menjadi lucu keberagamaan kita. 

Dokter bukan. Sekolah juga entah di mana, jurusan apa. Kemudian mendadak menemukan obat hebat. Apa tidak seperti seorang mualaf yang merasa pintar dan ahli agama hanya berbekal pembacaan Al Qur'an terjemahan kemenag yang menurut sebagian ulama masih mengandung banyak kekurangan? 

Harusnya, dalam hal agama kita percaya kepada ahli tafsir yang sudah bergumul dengan ilmu Al Qur'an daripada seorang dai dadakan karena job motivasi sudah tak begitu laku.  Harusnya, kita lebih percaya kepada dokter dokter yang ada di IDI untuk persoalan kesehatan, bukan kepada seorang penyanyi yang tak laku atau kepada dukun yang sedang kurang peminat. 

Mari tetap bersikap kritis.  Mari kita kembali waspada.  Jangan begitu saja terlena dalam rasa aman palsu. 

Mari tetap perhatikan protokol kesehatan karena ancaman masih begitu nyata. Sikap kritis kita perlu terus dijaga dari berita berita tak berdasar yang mencoba mengecoh kita. 

Belum. Kita belum aman betul. Kita masih menunggu vaksin yang lebih bisa dipercaya.  Bukan herbal yang entah itu. 

Tetap waspada jangan terlena oleh rasa aman palsu. Tetap semangat. Semangat pagi, semua. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun