Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mendadak Politik, Membaca Gibran

18 Juli 2020   05:49 Diperbarui: 21 Juli 2020   08:03 1150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perjalanan politik seorang Puan Maharani wajar.  Walaupun langsung duduk di tempat empuk di DPP PDI-P, tapi ia harus berdarah darah dulu sebelum akhirnya ikut dalam kabinet Jokowi. 

Tapi, ketika membaca Agus Harimurti Yudhoyono, maka kita bisa terheran-heran.  Kenapa kesan yang ada di Demokrat ada pewarisan tahta ketua umum kepada Sang Putera Mahkota? 

Persoalan dinasti politik bukan hanya milik para pemimpin negeri ini, di Amerika juga ada dinasti politik, dalam artian bapak nya presiden kemudian anak atau istrinya ikut ikutan jadi atau jadi calon presiden.  Tapi, beda pada cara saja.  Ada yang harus berdarah-darah dulu berjuang. Ada yang mendadak politik. 

Seorang yang baru setahun dua tahun terjun ke politik tentu berbeda pemahaman dengan mereka yang sudah jungkir balik berpolitik, bahkan dia menyurusi jalan politik dari tangga paling dasar, misalnya menjadi ketua ranting.  Jiwa politik tentu bukan akrobatik politik yang menjengkelkan yang sering kita saksikan dengan mata telanjang oleh mereka yang mendadak politik tersebut. 

Dan, kemarin kita juga dikejutkan oleh sikap mendadak politik ini.  PDIP lebih merestui Gibran daripada Purnomo.  Terus masalah? 

Semua orang tahu, selama ini Gibran lebih senang menjadi pedagang martabak daripada berpolitik.  Dan sikap ini yang selama ini mendapat pujian karena tidak tergoda kekuasaan dan tidak tergoda untuk menikmati aji mumpung dari bapaknya yang kebetulan masih duduk di istana negara. 

Tapi kemudian, tak ada angin dan ada kentut, tahu tahu, seorang yang tak pernah bicara politik sedikitpun itu, mencalonkan diri menjadi walikota.  Seakan-akan, jabatan walikota sebagai jabatan politik bisa dimendadaki begitu. 

Mungkin agak kurang pas kalau ditanya tentang kapasitas. Tapi, kita memang belum bisa membaca kapasitas politik seorang yang selama ini hanya bergumul dengan dagangan belaka. Bagaimana cara seorang Gibran untuk membuat Solo lebih baik? Orang hanya akan menggeleng gelengkan kepala karena memang belum pernah melihat sosok Gibran sebagai manusia politik. 

Kemungkinan Gibran akan bertarung melawan kotak kosong.  Karena, hanya pks yang enggan mendukungnya.  Tentu pks juga memiliki alasan politik sendiri, bukan hitung hitungan kapasitas calon. Hanya pengaruh posisi pks di jakarta yang juga berada di luar lapangan. 

Fenomena mendadak politik adalah fenomena yang sangat, sangat, sangat memprihatinkan bagi kehidupan politik berbangsa kita.  Ada yang salah dalam pengkaderan partai politik. Hampir semua partai politik di negeri ini mengalami ini.  Bahkan pks yang selama ini dianggap paling bagus di sisi pengkaderan pun, sering melakukan prilaku mendadak politik dalam memilih calon penguasa daerah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun