Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dua Puluh Sembilan Tahun Berlangganan Kompas

29 Juni 2020   17:14 Diperbarui: 29 Juni 2020   17:13 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekarang Kompas memasuki tahun ke-56 karena ulang tahun ke-55 baru saja diperingati.  Usia panjang yang penuh lika liku hidup. 

Bukan. Bukan hendak bercerita tentang Kompas, tapi kebersamaan aku bersama Kompas.  

Tahun 1988, tepatnya bulan Juli, aku mulai menginjakkan kaki di ibukota negeri ini.  Anak culun dari kampung, yang entah nasib baik darimana, bisa masuk IKIP Jakarta.  Mungkin ada yang yang bilang, kan IKIP tak ada yang minat. Tapi, bagi anak kampung, B yang sekolah nya juga memprihatinkan, diterima di IKIP adalah anugerah terindah dalam hidupnya. 

Ya, di IKIP inilah, aku berkenalan dengan Kompas.  Sebelumnya, tak pernah melihat, jangankan membaca. Tak ada koran sampai ke kampung ku.  Kadang, ada Suara Merdeka, tapi terlambat dua tiga hari sampai kampung ku. 

Anak kampung,  yang kemudian masuk pesantren sejak atau bersamaan sekolah MTs dan Aliyah, aku cuma bisa mengenal kitab kitab kuning dan buku pelajaran yang hanya dimiliki gurunya karena pelajaran selalu mencatat. Koran di Kampus betul-betul menjadi sinar terang yang tak pernah aku lewat kan setiap harinya. 

Singkat cerita, tahun 1990, berkat beasiswa TID, aku bisa membeli mesin tik di pasar Senen. Bulan berikutnya, setelah punya mesin tik, aku mulai menulis artikel. Puisi pertamaku dimuat di harian Pelita dengan honor satu puisinya 2.500 rupiah.  Tiga puisi diterima atau diterbitkan. Lumayan dapat 7.500 rupiah. 

Setelah itu, tulisan ku semakin banyak dimuat di beberapa surat kabar di Jakarta.  Dan pada tahun 1991, ketika sudah mulai memasuki penulisan skripsi, jarang ke kampus. 

Akhirnya, karena kebutuhan informasi untuk penulisan artikel, pada tahun 1991 itulah aku memutuskan berlangganan koran.  Walaupun termasuk lumayan berat.  Emang berapa langganan Kompas. Kalau tidak salah 12.500 rupiah sebulan.  Tekad sudah bulat, maka sejak tahun 1991 itulah, atau sudah 29 tahjn rupanya, aku berlangganan koran Kompas. 

Setiap habis subuh, aku santap sampai habis Kompas.  Pukul 09.00 dimulai upacara ketak ketik menulis artikel untuk dikirim ke koran atau majalah.  Setiap hari, minimal menghasilkan dua tulisan berkat inspirasi bacaan Kompas. 

Sudah pernah dimuat tulisan aku di Kompas? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun