Ketika mereka membantah saya atauk saling di antara mereka sendiri, saya akan terus asik merekamnya dalam bentuk tulisan. Â Saya akan sibuk. Sibuk sekali. Kadang-kadang, saya harus ngebut ngetiknya agaretak ada satu pun kata- kata mereka yang terlupakan.Â
Pokoknya, asik banget. Ide begitu banyak bermunculan dari mereka. Argumen juga saling menelikung untuk menjadi pemenang.Â
Kalau sudah begitu, tulisan saya akan menjadi panjang sekali. Mengakhiri sebuah tulisan justru sangat sulit. Karena teman-teman imajiner saya akan terus mengumbar kata-katanya untuk terus saya tulis.Â
Agak berbeda ketika menulis fiksi atau cerita. Â Karena tokoh imajiner yang saya ciptakan bukan hanya berdiskusi tapi juga menjelma menjadi tokoh cerita. Kadang saya jitak dia, sambil saya tertawa terpingkal-pingkal. Kadang berkelahi berdua. Duel. Ditendang. Menendang. Dipukul. Memukul. Dicaci. Mencaci. Dan seterusnya.Â
Dan selalu saja, saya kehabisan waktu untuk sebuah cerita saja. Tokoh-tokoh imajiner yang saya buat sering bandel dan tak mau jika saya mengakhiri cerita yang sedang ditulis. Mereka terus ingin direkam tindakan tanduk, kata-kata, dan bahkan perasaannya. Oh, saya tak pernah mendramatisir perasaan siapa pun. Para tokoh itu yang menceritakan kepada saya bahkan dengan air mata yang terurai sehingga air mata saya pun tak mungkin dibendungnya. Saya sering menangis sambil mengetik karena kesedihan teman-teman imajiner saya itu.Â
Begitulah saya menulis. Menghadirkan tokoh-tokoh imajiner di hadapan saya. Mereka akan bicara banyak hal. Kita tinggal merekamnya dalam tulisan.Â
Mudahkan? Selamat mencoba!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H