Ustad Samiun lagi bingung. Ramadan tahun tak ada jadwal ngimamin di mana pun. Tak ada jadwal ceramah juga. Ustad Samiun di rumah saja.Â
Istri ustad Samiun memahami kondisi suaminya. Â Tak pernah marah. Malah lebih sering menghiburnya. Untung ustad Samiun belum punya anak. Baru setahun menikah.Â
Ustad Samiun membayangkan saat muda dulu. Saat usianya terus merembet melewati angka tiga puluh. Dan ibunya selalu menanyakan kapan dibawain menantu.Â
"Belum bisa menafkahi, Bu, " selalu jawabannya begitu.Â
"Emang yang kasih makan binimu, kamu? Kamu jangan sombong, Nak, " nasihat ibunya.Â
Nasihat itulah yang kemudian membengkakkan keberanian ustad Samiun untuk segera menggandeng perawan. Â Dan Rohimah pun segera dipinang.Â
Setahun berjalan normal. Â Nafkah lahir selalu diberikan sebelum diminta. Tak mungkin perempuan sesolehah Rohimah meminta nafkah, tapi ustad Samiun sudah lebih dulu tahu diri.Â
Rezeki memang mengalir lebih. Ceramah yang tadinya paling seminggu dua kali, kini ustad Samiun hampir jarang di rumah karena harus ceramah dari satu tempat ke tempat lainnya. Bahkan kadang harus melayani ceramah di luar kota.Â
"Kamu tak kekurangan apa pun, kan? " tanya ustad Samiun kepada istrinya.Â
Pertanyaan itu seperti pertanyaan biasa. Tapi kesombongan ustad Samiun jelas sekali terkandung dalamnya.Â
Ustad Samiun sudah membayangkan bisa membeli mobil sehabis lebaran tahun ini. Â Ustad Samiun sudah membayangkan pulang kampung tanpa harus berdesakan di terminal bus. Pulang kampung lebih nyaman dengan mobil baru.Â