Semalam dia pulang ke kotanya. Istrinya sedang sakit. Dan sakitnya semakin parah. Tak elok jika dia tak pulang, mungkin untuk yang terakhir.Â
"Sabar ya," katanya sambil mengecup keningku.Â
Kenapa laki-laki selalu menyuruh perempuan sabar. Sementara dia sendiri tak pernah bisa sabar.Â
"Aku pasti kembali," kemudian dia bergegas menuju mobilnya dan meninggalkan sayatan paling luka.Â
Benarkah?Â
Saat ini saja, dia pulang hanya karena istrinya sakit. Hanya karena takut dikutuk oleh keluarga besarnya. Hanya karena....Â
Padahal, berpuluh tahun lalu, mungkin dia telah mengucapkan kata-kata yang sama kepada perempuan yang kemudian dia jadikan istrinya itu.Â
Mungkinkah nasibku akan sama. Ditinggalkannya kelak jika dia sudah merasakan bosan dan ada perempuan lain lagi?Â
Aku terus menyuri pantai. Sendiri. Sesekali memandang senja. Senja yang selalu menjadi batas antara bahagia dan luka.Â
"Aku juga bisa pergi."
Aku kemasi segala. Juga kenangan bersamanya. Aku rasa cukup sampai di sini.Â
Dan sebuah kalimat masuk dalam HP ku. Sebuah kabar yang sudah menjadi hambar.Â
"Dia sudah mati."
Aku tak peduli. Karena suatu saat kata dia itu dihuni olehku sendiri.Â
Aku terus melangkah. Kakiku yang akan menentukan perjalanan yang sedang kumulai.Â
Semoga laki-laki itu segera menyadari.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H