Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Malam Selasa Kliwon

19 April 2020   07:41 Diperbarui: 19 April 2020   21:38 1781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi penguburan| Sumber: kompas.com/Tim Relawan Pemprov Lampung

Sudah puluhan tahun aku menunggu waktu seperti ini. Hari ini barulah doa-doaku dikabulkan. 

Hari ini Selasa Kliwon, ada yang meninggal dunia. Dan kematian di hari Selasa Kliwon adalah kematian Istimewa. Di dunia yang aku tekuni puluhan tahun ini, kematian Selasa Kliwon adalah berkah tak terperikan. Aku saja menanti sepuluh tahun lebih. 

Sebagai tetangga yang baik, aku ikut membantu membuat lubang kuburannya. Sebetulnya, bukan cuma mau membantu, tapi untuk niat yang satu ini, tak mungkin aku ceritakan sekarang. Masih rahasia. 

Tetanggaku baru seminggu pulang dari Jakarta. Katanya, sekarang Jakarta sepi. Orang-orang tak boleh keluar rumah. Sehingga dagangan nasi gorengnya tak pernah habis. 

Kemudian dia pulang. 

Dan seminggu di kampung, dia sakit. Sakitnya sendiri, mungkin baru empat hari. Atau empat hari, sakit yang dirasakan. Karena dia mual-mual dan muntah. Kemudian badannya juga panas. 

Baru dua hari dibawa ke rumah sakit, langsung menghembuskan nafasnya yang terakhir. Tamat. Dan berbahagialah dia. Karena kematiannya pas hari selasa. Kliwon, pula. 

Dengan semangat, aku gali lubang kubur itu. 

"Semangat banget, Kang. Istirahat dulu. Ada teh, nih," kata Warjo saat melihat aku masih ada di lubang galian padahal teman-teman sudah ngeteh. 

"Bentar. Nanggung," jawabku. 

Ketika jenazah datang, lubang kuburan sudah siap. Entah kenapa, pada saat penguburan, kami tukang galinya malah disuruh pergi. Hanya petugas rumah sakit yang menggunakan pakaian pakaian aneh yang boleh menguburkan. 

"Kenapa? "

"Katanya penyakit berbahaya."

"Pantesan kita disuruh minggir."

Mereka pula yang menguruk lubang kuburnya. Kemudian, ketika semua selesai, mereka pulang. Masih menggunakan pakaian pakaian aneh. 

Malamnya diadakan tahlilan. Tapi, di rumah masing-masing. Kang Kodar memimpin tahlilan dari toa mushala. 

Tahlilan paling aneh. Mungkin karena matinya Selasa Kliwon, batinku. 

Dan tekadku sudah jelas. Nanti malam aku harus mengambil tali pengikatnya. Sudah terlalu lama menunggu. Entah kapan lagi ada yang meninggal di Selasa Kliwon. 

Singkat cerita. Walaupun aku harus berjibaku malam-malam buta. Akhirnya, aku dapatkan juga tali pengikat mayat itu. Aku uruk kembali kuburan seperti semula. Dan tak mungkin ada yang menduga jika kuburan itu sudah dibongkar orang. 

Aku simpan rapi tali itu di dalam sebuah kotak kecil. Kotak itu aku selipkan di antara baju di lemari. Minggu depan aku akan bawa ke rumah Ki Sonte. Dan, cita-cita ku akan segera tercapai.

Tapi kenapa tenggorokan ku mulai terasa gak enak ya? 

Beritasatu.com
Beritasatu.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun