Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tayuh

17 April 2020   11:12 Diperbarui: 17 April 2020   11:25 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bapak meninggal mendadak. Katanya serangan jantung. Bapak sudah pensiun. Sebelum meninggal, Bapak hanya tinggal berdua dengan ibu. Anak Bapak ada lima. Semua sudah pasangan dan tinggal di rumah masing-masing. 

Aku anak ketiga. Anak tengahan. Kakakku dua. Semua perempuan. Adikku dua, laki-laki dua duanya. 

Semua sudah kumpul.  Bersama ibu juga di ruang tengah. Malam setelah penguburan Bapak. 

"Peninggalan Bapak tak ada, kecuali rumah yang ibu tinggali ini," kata ibu. 

Anak anak Bapak sudah tahu semua. Bapak tak pernah mendapatkan warisan tanah. Ibu juga tak pernah mendapatkan warisan tanah.  Bapak juga tak pernah membeli tanah.  Bapak merasa cukup dengan gajinya sebagai pegawai kecamatan.  Kami berlima dapat bersekolah. Paling tidak, semua nya sudah merasakan bangku kuliah. 

Semua itu dibiayai dari gaji Bapak.  Kepandaian ibu mengatur segalanya, yang membuat semua kebutuhan dapat teratasi. 

"Hanya ada warisan satu lagi yang harus kalian bicarakan, " tambah ibu yang membuat kami saling pandang. 

"Bapak memiliki keris turun temurun dari kakek kakek dan kakeknya lagi. "

Ibu berhenti sebentar. Menarik nafas dalam dalam. Agak berat. Seakan ada beban yang harus ditanggungnya. 

"Kira kira siapa yang bisa memelihara keris warisan turun temurun itu? "

Tak ada yang menjawab.  Kami, tentunya tak ada yang percaya dengan benda begituan.  Tak mau terbebani. Kabarnya ada keharusan keharusan yang mesti dilakukan untuk pemeliharaan benda keramat seperti keris. 

"Memang Bapak kalian sudah berpesan. Keris ini akan mengikuti orang yang disukainya. Tidak sembarangan. "

"Tahunnya dari mana, Bu? " tanya mbak Dara. 

"Kalian harus melakukan tayuh. "

"Apa tayuh itu, Bu? " tanya Ripin, adikku. 

Ternyata kami berlima harus bergiliran tidur bersama keris itu. Hanya berdua. Jika memimpikan diikuti hewan peliharaan, berarti si pemimpi yang berhak mewarisi keris itu. Berarti ketis itu hendak menfambdi kepadanya. 

Mulai dari mbak Dara, Mbak Tiara, aku, Ripin, dan Seno, kami bergiliran tidur bersama keris.  Keempat saudara ku tak ada yang mimpi apa apa. Hanya aku yang mimpi bertemu anjing. Dan anjing itu selalu mengikutiku ke mana pun aku pergi. 

Semua kakak dan adikku cerita kalau tidurnya lelap. Tak mimpi apa pun. Terpaksa, aku pun berbohong. Aku bilang tak mimpi apa pun. 

Dan, keris itu pun akhirnya tetap berada di rumah ibu. 

Hanya saja, sudah satu bulan ini, saya diteror mimpi yang sama. Seekor anjing mengikuti setiap langkahku. Hingga tidur ku tak lagi maksimal. 

Kerja di kantor juga sering salah. Akhirnya, dua kali ditegur. 

Harus kah, aku bawa keris itu? Kalau ada yang tahu jawaban, kirimkan ke alamat email ku ya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun