"Anjing!" teriak Lurah Kardi suatu pagi.Â
Ini memang bukan yang pertama. Ini sudah yang ketiga. Yang ketiga.Â
Waktu pertama kali, juga di suatu pagi, ada tai manusia di halaman rumahnya, lurah Kardi masih menganggap bahwa tai itu mungkin dari orang yang yang tak sempat lari ke kamar mandi.Â
Lurah Kardi memaafkan kejadian pertama. Â Lurah Kardi suruh si Dogol membersihkan halaman rumahnya dari tai itu.Â
Ketika halaman rumahnya dikirimi tai untuk kedua kali, lurah Kardi mulai berpikir tentang kesengajaan seseorang untuk mengajaknya ribut. Â
Baru juga dua bulan Kardi dilantik menjadi lurah. Tentunya setelah proses panjang yang sangat melelahkan dalam pertarungan memperebutkan kursi orang pertama di kampung itu. Â Bukan hanya tenaga, uang juga seperti terhambur begitu saja.Â
Dan pagi ini adalah kejadian ketiga. Â Berarti memang ada yang menantang lurah Kardi. Â Mulut Lurah Kardi gemeretak. Pertanda kemarahan yang sudah sampai ubun ubun.Â
Dihajarnya meja yang biasa untuk nongkrong pendukungnya yang masih ada di bawah pohon mangga di halaman rumahnya hingga hancur berantakan. Pikiran lurah Kardi sendiri melayang jauh menuju muka saingannya saat menjadi calon lurah.Â
"Pasti si bangsat itu pengirimnya."
Semua orang sudah paham. Persaingan dalam pemilihan lurah, di mana pun tempatnya, akan terbawa lama. Bahkan hingga ajal menjemput para calon tersebut.Â
Setiap ada persoalan, pasti desa itu akan terus terbelah antara dua kelompok. Pro lurah terpilih atau pro lurah tak terpilih. Dan desa tak akan pernah akur selama nya.Â