Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pertempuran Penghabisan

10 April 2020   19:11 Diperbarui: 10 April 2020   19:10 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Iya. Tak ada jalan lain. Mundur berarti kalah. Kalah berarti hilang harga diri. Hilang harga diri berarti hilang kemanusiaan kita. Masih bisa hidupkah kita setelah kehilangan kemanusiaan?

Aku ingat perjuangan Jabal Bin Toriq ketika dengan jumlah pasukan yang sedikit menghadapi jumlah pasukan musuh yang jumlah berartus kali lipat. Sebagai panglima, dia tahu kejiwaan pasukannya.  Sang Panglima pun menyuruh pasukannya untuk membakar semua kapal yang telah mengantarkan mereka ke negeri Spanyol. 

Kemudian, Sang Panglima berpidato. "Di depan kalian, mengadang ribuan pasukan musuh. Di belakang kalian hanya ada lautan membentang.  Kalian pasti tak akan bisa kabur.  Kalian akan mati. Hanya saja kalian punya pilihan, apakah menjadi mati syahid menghadapi musuh atau mati sia sia ketika kalian lari dari pertempuran ini".

Akhirnya, dengan semangat tanpa takut mati, mereka langsung menghajar tentara musuh yang kemudian kaget melihat semangat pasukan Sang Panglima.  Dan kemenangan diperoleh. 

Dan aku. Aku juga hendak melakukan pertempuran penghabisan.  Tak ada lagi kata mundur. 

"Kamu yakin?" tanya Yulia. Teman satu kantor tempat curhat ku. 

"Kenapa takut? "

"Bukan takut, tapi apa senekad ini? "

Sudah sebulan membuntuti suamiku.  Sepulang kantor, dia tak pernah langsung pulang ke rumah. Macet gak macet selalu saja tengah malam baru sampai di rumah. 

Akhirnya, aku putuskan untuk mengikuti dia.  Dan sekarang, dia berada di sebuah rumah.  Aku dengar, itu rumah janda. Usia nya lebih muda dariku. 

Itulah yang membuat ku nekad. Aku tadinya hanya ingin datang sendiri. Tapi, Yulia memaksa ikut. Katanya, dia takut aku melakukan perbuatan tanpa berpikir panjang. 

"Terus? "

"Aku akan menyusulnya. "

"Tunggu."

"Berapa lama? "

"Sampai kamu capek dan mau pulang. "

"Kamu gimana? Aku mau menyelesaikan nya sekarang juga. "

Ada telpon masuk. Aku lihat nama si penelepon. Yulia juga ikut melihat. 

"Dia lagi? "

"Iya, " kataku. 

Aku malu sendiri.  Yulia tahu, itu Ardin. Teman ku sma. Cowok basket yang maco. 

Pertempuran seperti nya sudah selesai. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun