Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berdagang Bapak Mati, Tak Berdagang Ibu Mati

3 April 2020   07:08 Diperbarui: 3 April 2020   07:14 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu ciri kewalian seseorang, sebagaimana tercantum dalam kitab suci Al-Quran, adalah tak ada lagi perasaan takut di dalam hatinya. Maka, segala sesuatunya sudah diserahkan ke Allah. La Houfun alaihim walahum yahzanun. 

Tapi kita bukan lah wali Allah. Kita manusia biasa. Melakukan ibadah saja masih lebih sedikit hitungannya dibandingkan jumlah jari kita. Sehingga wajar jika masih memendam rasa takut di dalam hati. 

Ketika wabah pageblug korona semakin menggila, kita juga bertambah rasa was wasnya. Akan korona menyerang kita juga? 

Maka, semua imbauan pemerintah dilakukan dengan baik. Tak usah keluar rumah, kita ngedekem di rumah terus, walaupun bosan. Tak usah solat berjemaah juga tak usah solat jumat, kita solat berjemaah bersama keluarga di rumah. Selalu cuci tangan dengan sabun, kita juga selalu melakukannya, walaupun hanya ke halaman rumah belaka. 

Tapi, karena beberapa bahan makan habis, kemarin keluar rumah juga. Eh, ternyata masih ada yang berjualan dan masih dikerubuti orang. Siapa? Tukang sayur. 

Saya pikir, agak aneh juga. Kok tak mengikuti imbauan pemerintah untuk tetap di rumah dan menjaga jarak? 

Bukan dengan tukang sayur, aku tanyakan fenomena orang masih keluar keluar itu. Apa katanya? 

Bapak, kami ini rezekinya harian dari berdagang seperti ibu itu. Kalau kami tak keluar rumah atau tak berdagang, terus kami akan makan apa? Kecuali pemerintah bukan hanya mengeluarkan imbauan untuk tak keluar rumah disertai pemberian biaya hidup kami sehingga kami tak kelaparan. 

Oh, benar juga ya. 

Ibaratnya, hari hari ini, hari hari simalakama buat kami. Kami berdagang, kemungkinan kami akan terpapar korona dan mati. Kalau kami tak dagang, kami kelaparan dan kamu mati juga. 

Jalan terbaik, kami hanya bisa pasrah dengan Yang di Atas sana. Hanya kasih sayang Nya yang akan menyelamatkan kami dari segalanya. Bukan hanya korona. 

Aku beringsut pulang. Dalam hati, jangan-jangan sudah banyak waliyullah juga. Walaupun mereka terpaksa. 

Semoga semua terselamatkan. Juga keluarga keluarganya. 

Amin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun