Kamu tak mengenal Bunga jadi kamu tak punya beban apa apa ketika berita kematiannya nangkring di grup WA mu. Tapi aku?Â
Sudah lama emang, tapi kejadian itu seperti baru kemarin saja.Â
"Harus?"
Aku pelan pelan mengangguk. Pelan sekali. Seperti sebuah pertempuran yang lebih dasyat yang akan di hadapinya.Â
"Tak ada pilihan atau tak mau meminta pilihan?"
Kenapa aku terkadang membencinya? Karena otaknya yang terlalu cerdas. Terlalu kritis. Dan selalu menjadikanku sebagai laki-laki bodoh di hadapan nya.Â
Terus aku harus jawab apa?Â
Untuk saat ini memang jelas tak ada pilihan. Tapi sebelum surat tugas itu tertandatangani, sebetulnya aku bisa menawar untuk menolak atau minta diganti. Walaupun resikonya akan ada tanda bintang di setiap daftar namaku.Â
Aku menggeleng. Juga dengan amat sangat pelan. Seperti sebuah keraguan yang teramat berat.Â
"Ya udah."
Dan setelah itu segalanya berubah. Hari hariku terbebas tapi juga tertekan. Â
Hingga kemudian aku kembali ke kota ini. Kota yang begitu dicintai Bunga sebagai seorang dokter. Dua minggu lalu. Saat korona menjadi headline di seluruh koran yang ada di negeri ini.Â
Sebagai dokter, Bunga bekerja tanpa jeda. Entah kecintaan pada profesinya sebagai seorang dokter.Â
Yang jelas, menurut temanku satu kota, Bunga sudah menjadi seperti sebuah fosil yang kehilangan kehidupannya.Â
Dan hari ini, hari terakhir Bunga menikmati dunia.Â
Kamu tahu kan kenapa kematian Bunga tidak menjadi kematian biasa?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H