Dia berjalan berjingkat. Dia itu maksudnya, manusia setengah monyet, alias Toro. Adikku yang selalu menyedihkan itu.Â
Rupanya dia baru dari dapur. Entah apa yang dipegangnya. Tangan kanan sengaja di kebelakang kan. Dari tindak tanduknya, dia sangat mencurigakan.Â
Ada suara seseorang membuka pintu. Kemudian suara sendal yang diseret dengan enggan. Terus disusul suara batuk. Dan itu pasti bapak.Â
Setiap malam, bapak memang sering bolak-balik ke kamar mandi untuk kencing. Â Kadang-kadang sampai lima kali. Sepertinya pentilnya sudah dol, jadi tak bisa lama lama menahan kencing.Â
Toro wajahnya pucat. Seperti maling yang hanya bisa pasrah ketangkep hansip. Â Pelan pelan Toro meletakkan barang yang dipegangnya ke kursi yang ada di samping nya. Dan bapak sama sekali tak peduli.Â
Bapak seperti tak melihat Toro yang terpaku dekat meja itu. Mungkin Toro sedang ketakutan niat jahat nya diketahui Bapak. Itulah bapak, tak pernah menganggap Toro sebagai anaknya.Â
Bapak ku guru SD lho.Â
Di kampung ku, Bapak termasuk orang yang dihormati. Semua orang memanggilnya Pak Guru. Â Bahkan ada yang tak tahu nama asli bapak karena tak pernah ada yang memanggil namanya.Â
Dan ibu adalah kembang desa. Â Dulu, ibu menjadi murid kesayangan bapak. Â Karena ibu memang cantik.Â
Kemudian mereka menikah. Ibu senang menikah dengan bapak. Â Karena uang belanja bulanan selalu tersedia. Â Ibu mengandalkan gaji ayah untuk mengisi dapurnya.Â
Tapi, ibu seperti nya tak cinta ayah.Â
Dan inilah persoalan nya. Â Karena pada saat ibu mengandung aku, bapak mulai curiga kalau ibu sudah mulai tak setia.Â
Kabar apa sih yang tak bisa sampai ke telinga bapak? Semua kabar sekecil apa pun akan langsung viral di kampung ku.Â
Dan katanya, ibu sudah beberapa kali ke pasar di kota kecamatan. Â Entah beli apa. Â Karena kabarnya justru ketemu seorang pria. Â Pria kain selain bapak. Â Katanya sih teman waktu ibu sekolah SMP di kecamatan.Â
Ibu tak pernah cerita ini. Aku dengar dari orang lain. Cerita nya seru banget. Lebih seru dari sinetron.Â
Dan bapak tak percaya kalau aku anaknya. Tapi, juga tak punya bukti apa pun untuk mendukung kecurigaan nya.Â
Apalagi ketika aku lahir dengan kulit putih bersih. Â Bapak semakin sering duduk melamun sambil membayangkan perbuatan istrinya dengan orang lain. Â Tiga kakakku emang semuanya berkulit hitam. Â Atau pun kalau dibilang sawo matang. Tapi juga sawo matang yang nyaris busuk.Â
Untung aku lahir perempuan. Dan bapak memang pengin punya anak perempuan. Â Setelah tiga kali mbrojol semua laki-laki.Â
Bapak menyayangiku. Kadang melebihi sayangnya kepada kakak kakak ku. Â Aku merasakan itu. Â Tapi tetap ada jarak. Dan jarak aku dengan bapak terjadi karena luka di hati bapak memang masih belum tersembuhkan.Â
Ketika lahir Toro, bapak menjadi semakin tak peduli. Apalagi melihat bayi yang baru dilahirkan ibu cacat. Â Kaki bayi itu panjang sebelah. Â Dan salah satu matanya agak juling. Â Kalau kalian perhatikan secara seksama, kalian pasti akan membayangkan wajah dajal di wajah adikku itu.Â
Bapak melihat bayi Toro sebagai azab kelakuan ibu yang kabarnya semakin menggila dengan laki-laki itu. Bapak tak pernah menceraikan ibu karena bapak tak mungkin melakukan itu sebagai seorang tokoh desa.Â
Bapak seperti terjebak pada lorong tanpa ujung. Bapak memang cinta banget sama ibu. Â Hatinya sudah diberikan seluruhnya untuk ibu. Â Sehingga ketika ibu membuat hati bapak remuk seremuk remuknya, bapak tak bisa apa apa kecuali pasrah dan menganggap semua yang terjadi sebagai takdir.Â
Oh, iya. Bapakku tak pernah solat walaupun di KTP tertulis beragama Islam. Â Untuk soal yang satu ini, akan aku ceritakan nanti saja ta.Â
Sekarang kembali ke bapak. Â Bapak merokok nya bertambah setelah kelahiran Toro. Â Jadi, jangan tanya kondisi paru-paru Toro karena sejak bayi Toro sudah begitu banyak menghisap asap rokok bapak yang dihembuskan bersama keresahan hatinya.Â
Lalu, berita tentang kecacatan bayi yang baru dilahirkan ibu, berubah menjadi cerita tentang azab. Â Orang orang kampung mengaitkan kecacatan Toro dengan kelakuan ibu.Â
Anak zina pasti cacat. Demikian kesimpulan orang orang kampung. Dan ketika bicara seperti itu, volumenya akan lebih dikeraskan jika mereka melihat ibu lewat dekat mereka. Â Sehingga kata kata itu diharapkan akan berloncatan menusuk hati ibu.Â
Tapi ibu selalu cuek. Seperti sudah kehilangan sensitivitas. Â Mungkin karena cinta pertama nya itu. Â Kan sama bapak, ibu memang gak pernah cinta. Maka cinta pertama ibu ya sama laki-laki teman SMP nya itu.Â
Suara pintu terdengar ditutup dengan keras. Mungkin lebih tepatnya dibanting. Dan aku  aku melihat wajah Toro yang terlipat kecut. Â
Toro kembali berdiri saat mendengar bantingan pintu.Â
Kemudian dia pelan pelan menuju....Â
(Bersambung)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H