Malam semakin larut, ketika perempuan itu hendak melangkah pergi. Di luar seperti ruang kosong yang kemudian disesaki sunyi. Dan ia melangkah menembus sunyi.Â
Aku menatap nya dari jauh. Saat ia hendak masuk ke mobil, tampak ia ragu antara terus pulang atau hendak kembali lagi. Mungkin ada yang belum selesai ia bicarakan dengan laki-laki itu.Â
Di pojok ruangan itu kosong. Karena perempuan itu selalu duduk sendiri. Menurut penglihatanku. Namun, sering aku melihat nya seperti sedang bercakap-cakap mesra dengan laki-laki yang ada di depan nya.Â
Mungkin ada laki-laki imajiner di depan perempuan itu yang selalu menemaninya ngopi.Â
Setiap perempuan itu pergi, pelayanan selalu mengemasi dua cangkir di bekas mejanya. Dan tak mungkin perempuan itu menghabiskan segitu banyak kopi.Â
Pernah aku ketemu berpapasan dengan perempuan itu. Dan saat itu, aku tepat memandang ke bola matanya. Beda memang. Mata perempuan itu Treyem. Â Bahasa daerah ku yang tak mungkin aku Indonesia kan karena tak ada padanannya.Â
Mata itu menyorot antara tegas, teduh, dan merajuk. Itulah mata Treyem. Â Mata milik perempuan itu. Dan menurut nenekku, mata seperti itu hanya dimiliki oleh sepuluh wanita paling beruntung di dunia.Â
Perempuan bermata Treyem akan selalu bernasib baik. Kecuali dalam persoalan laki-laki. Â Dalam soal yang satu ini, perempuan treyem akan selalu menemui laki-laki yang kemudian tersedot ke dalam matanya. Menyerah dan kemudian hilang.Â
Mungkin kah mata itu yang membuat perempuan itu selalu duduk sendiri dengan laki-laki imajinernya?Â
Ah, biarlah. Aku cukup menikmati dari jauh.Â
"Ada apa, Mas? " tanya seorang perempuan di belakang ku.Â
Dan ternyata perempuan itu setelah menutup kembali mobilnya dan kembali ke kafe. Aku berbalik dan kembali menemukan mata itu. Entah kenapa, kemudian aku sudah duduk di hadapan perempuan itu di meja yang selalu di pesannya.Â
Perempuan itu bercerita banyak. Seperti biasa ketika aku melihat nya dari kejauhan.Â
Ada dua cangkir kopi di meja. Ketika perempuan itu meminum di cangkirnya., aku juga meminum dari cangkir yang satunya lagi.Â
Malam itu semakin larut. Semakin larut. Dan semakin latut saja.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H