Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kamu Syiah, Kamu Bukan Islam, Maka Kamu Harus Pergi dari Sini

23 Desember 2019   08:46 Diperbarui: 23 Desember 2019   10:09 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kamu Syiah, kamu bukan Islam, maka tak boleh ada di negeri ini. Kamu Ahmadiyah, kamu bukan Islam, maka sebaiknya kamu pergi dari sini. 

Masih banyak yang salah memahami konteks pembicaraan. Seseorang dalam beragama disebut sebagai umat.  Ketika seseorang dalam bernegara disebut sebagai warga. 

Ketika bicara agama, silakan membedakan antara kita sebagai umat dengan umat agama lain.  Cara beribadah juga berbeda. Kita beragam. 

Ketika berbicara tentang kehidupan seseorang di sebuah wilayah atau negara, kita bukan lagi umat. Kita bicara sebagai sesama warga negara.  Kedudukan kita sama. Sesuai dengan amanat kehidupan bernegara dalam konstitusi yang kita akui dan junjung bersama. 

Ketika bicara umat, ada mayoritas dan ada minoritas.  Walaupun di setiap daerah kemungkinan ada perbedaan. 

Ketika berbicara dalam kerangka kehidupan bernegara, maka kita harus merujuk konstitusi.  Semua berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. 

Ketika memilih pemimpin umat, maka wajib dari anggota umat tersebut.  Akan tetapi, jika berbicara kepemimpinan dalam konteks bernegara maka seharusnya kita samping kan keumatan dan berdiri sebagai warga negara yang sama. 

Ketika terjadi pencampuran, maka yang terjadi adalah bias. Bukan kompensasi kepemimpinan yang didahulukan, tapi kesamaan golongan yang menjadi landasan. Dan kemungkinan besar akan terjadi kekacauan. 

Hal demikian memang bukan hanya terjadi di negeri ini. Kemunculan ultra kanan di negara negara maju juga merupakan kemunduran tersendiri.  Agama kemudian menjadi hiasan politik belaka. Bahkan agama akan menjadi senjata paling mematikan. 

Kesadaran bersama akan koeksistensi dalam kehidupan sangat diperlukan untuk ditanamkan sejak dini. Bagaimana pun juga, hidup bersama lebih baik daripada hidup dalam kesalingcurigaan tanpa dasar. 

Mari kembalikan kehidupan bernegara sebagai sesama warga. Bukan lagi, berdasarkan keumatan yang memisahkan. 

Jika demikian, kita tidak lagi akan mudah menuduh dan mempersekusi orang lain untuk menjadi pengungsi di negeri sendiri. 

Toh, negeri ini sudah diperjuangkan bersama. Mari kita jaga bersama pula. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun