Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Apa Sih Asesmen Kompetensi Minimum?

14 Desember 2019   11:27 Diperbarui: 14 Desember 2019   11:40 11366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nadiem hanya mengembalikan rel pendidikan kepada jalan lurusnya.  Tetapi terlalu banyak suara bising yang asal bicara sehingga menghilangkan substansinya. 

Nadiem telah memasukkan dirinya dalam ronde pertama perubahan yang memang sangat diimpikan para guru dan para penggiat pendidikan di negeri ini. Ada empat perubahan yang diusung dalam kebijakan yang dinamainya sebagai "Merdeka Belajar".

Pertama, pengembalian kewenangan penilaian peserta didik kepada guru.  Selama ini, kewenangan ini telah direbut negara. Nadiem hanya mengembalikan kewenangan ini. Tentu saja berdasarkan UU sisdiknas. Selama ini memang salah, tapi bahkan orang sekaliber Jusuf Kalla pun menganggapnya sebagai kebenaran. Dan guru, karena terlalu baik, hanya bisa ngedumel tanpa mau repot repot demo meninggalkan murid murid nya. 

Biarkanlah kewenangan guru itu dipergunakan sebaik-baiknya. Toh, guru gurulah yang tahu muridnya dalam keseharian mereka. Guru guru lah yang tahu setiap perkembangan siswa-siswi nya.  Negara tahu apa? 

Ujian Sekolah Berstandar Nasional juga menunjukkan kuku kuku negara dalam ruang kelas. Mereka tak pernah peduli terhadap guru, tapi peserta didik mereka hajar. Padahal, hanya dari guru guru yang hebat akan muncul murid murid yang super. 

Kedua, penghapusan Ujian Nasional. Keluhan terhadap ujian nasional sudah membuat bibir guru dower. Tapi negara tak peduli. Bahkan gugatan yang dimenangkan pun tak dihirau. Terlalu sombong negara ini. Negara? Pemimpinnya kalii. 

Gak ada manfaat nya sama sekali. Hanya menimbulkan tekanan terhadap semuanya. Orang tua, guru, kepala sekolah, kepala dinas, kepala daerah, apalagi siswa. Siswa seakan sedang dihukum oleh kesalahan yang dilakukan orang lain. Bagaimana bisa belajar dengan baik kalau perpustakaan tak ada, bahkan gedung sekolah pun nyaris roboh? 

Paling ngeselin ketika para pejabat di dinas dengan suara menggelegar berapi-api, memaksa guru meniru model drilling soal ala bimbel. Mereka seakan akan hanya berorientasi hasil UN, belajar harian seperti apa tak peduli, asal nilai UN daerahnya meningkatkan. 

Saking semangatnya, lahirlah tipu tipu. Bukan rahasia umum lagi kalau soal UN bocor. Lha, wong gurunya sendiri yang membocorkan. Lalu, apa gunanya teriak teriak tentang pendidikan karakter? 

Ketiga dan keempat, tentang penyederhanaan an RPP dan Zonasi tak terlalu penting dibahas dalam tulisan ini. 

Ada kesalahan dalam memahami kebijakan "Merdeka Belajar".  Terutama dalam hal penghapusan UN yang dianggap akan diganti Asesmen Kompetensi Minimum. 

Bukan, itu bukan penggantian. Berbeda banget UN dengan Asesmen Kompetensi Minimum.  Karena objek nya berbeda. UN menilai siswa sedangkan AKM menilai sekolah nya. 

Dalam AKM, siswa tak punya beban apa apa. Siswa silakan menjawab sesuai kemampuannya. Tak ada soal pilihan ganda model UN yang jawabannya memang perlu dihafal. AKM sangat memerlukan kemampuan dalam berpikir. 

Ada dua hal yang diuji dalam AKM. Pertama, tentang kemampuan berliterasi. Bukan literasi seperti selama ini yang dipahami sebagai membaca tok. Kemampuan berliterasi dalam AKM adalah kemampuan dalam memahami bacaan. 

Pelajaran apa pun, mengharuskan siswa mampu berliterasi. Jadi, kemampuan berliterasi adalah kemampuan lintas mata pelajaran. Sekarang beban itu masih diletakkan di pundak guru guru bahasa Indonesia. Sebuah kesalahan yang harus cepat diperbaiki. 

Kemampuan berliterasi juga merupakan kemampuan yang dibutuhkan setiap orang dalam sepanjang hayatnya.  Dalam kehidupan seseorang, bahkan ke depan, mengharuskan kepemilikan kemampuan berliterasi model ini. 

Sekolah merupakan lembaga yang pas untuk menyemaikan kemampuan dasar ini.  Tanpa kemampuan dasar ini, seseorang akan gagap menghadapi informasi yang membanjiri detik-detik nya. 

Kedua, kemampuan numerasi. Tak kalah dengan kemampuan berliterasi, kemampuan dalam menghadapi angka angka atau data data ini sangat dibutuhkan di masa depan.  Bahkan kehidupan masa depan akan bergantung kepada kemampuan mengolah data atau angka angka ini. 

Hasil tes PISA yang dilaksanakan oleh OECD telah diumumkan. Hasilnya sudah dapat ditebak. Indonesia menempati posisi keenam. Sayang nya, hitungan nya dari bawah. Kenapa hal itu sudah tak bisa ditebak? 

Tes PISA dan pembelajaran di kelas memang berbeda. Kemampuan berliterasi dan numerasi sangat diutamakan dalam tes PISA, sedangkan pembelajaran di kelas masih menghapal untuk mengejar nilai tinggi di UN. 

Itulah Asesmen Kompetensi Minimum. Bukan pengganti UN. Ini sudah diamanatkan dalam uu sisdiknas. Tapi selama ini diselewengkan. Nadiem hanya mengembalikan ke rel yang benar. 

Semoga, bersama Nadiem perbaikan pendidikan akan segera terwujud. 

Terima kasih, Mas Menteri. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun