Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

"Learning Poverty", PR Baru buat Nadiem Makariem

21 November 2019   08:28 Diperbarui: 21 November 2019   09:00 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bank Dunia menyatakan, lebih dari sepertiga anak-anak di Indonesia mengalami "Learning Poverty". (Republika, 20/11/2019).  Berita tersebut tentu tidak mengagetkan.  Kenapa?  Karena hasil PISA pun selalu menunjukkan tentang rendahnya kemampuan literasi membaca anak-nanak di negeri ini.  Data PISA tahun 2015, untuk kemampuan literasi membacsa 397 poin.  Naik sedikit dari PISA tahun 2012 yang hanya 396 poin.

"Learning poverty" sendiri merupakan kondisi ketidakmampuan anak pada usia 10 tahun atau kira-kira duduk di bangku kelas 4 SD dalam membaca dan memahami cerita sederhana.  Kemampuan membaca dan memahami cerita sederhana merupakan kemampuan dasar yang seharusnya dimiliki oleh setiap anak.  Karena, kemampuan dasar ini akan sangat mempengaruhi kemampuan lainnya.  Ketidakmampuan dalam membaca dan memahami cerita sederhana akan menghambat kemampuan lainnya pada tahun-tahun berikutnya.

Kondisi Sekolah Dasar sendiri sangat memprihatinkan.  Beberapa sekolah, apalgi sekolah yang berada di daerah-daerah terpencil, memang tidak memiliki guru-guru profesional yang mampu memberikan pembelajran terhadap peserta didik dengan baik.  Banyak daerah terpencil yang tidak memiliki guru sekolah dasar memadahi.  Terkadang hanya ada satu guru untuk enam kelas yang berbeda (Kelas 1 saampai kelas 6).  Lebih parah lagi, satu guru untuk satu sekolah dasar pun, masih berstatus honor.  

Bukan berarti pemerintah daerah tidak mau mengangkat guru untuk sekolah-sekolah terpencil.  Beberapa daerah berlebihan jumlah gurunya.  Hanya, persoalan terjadi pada pola penyebarannya yang tidak merata.  Guru-guru PNS dan berkualitas menumpuk di kota-kota, sementara di pelosok kekuarangan guru.  Pemda sering mengangkat guru PNS untuk sekolah pelosok, akan tetapi hanya dalam waktu kurang dari 5 tahun, mereka sudah bermigrasi ke sekolah-sekolah di kota.  Problem yang harus dipikirkan secara serius.

Ketidakcukupun guru inilah yang mengakibatkan proses pendidikan di daerah-daerah, teruitama daerah terpencil, tidak maksimal.  Guru tak mungkin bisa berkonsentrasi ketika harus mengajar enam kelas berbeda.  Apalagi, mereka guru honor yang gajinya tidak pernah jelas kapan turun dan berapanya.

Selain kondisi guru tak berkualitas dan kurang, sekolah-sekolah dasar di Indonesia juga belum dilengkapi dengan perpuistakaan sekolah.  Perpustakan sekolah, menurut UU Sisdiknas merupakan sumber belajar utama.  Seharusnya, perpustakaan sekolah wajib ada di setiap sekolah.  Terutama di SD.  Karena kebiasaan membaca akan terjadi jika dari SD sudah terbiasa masuk ke perpustakaan dan bergelut dengan buku.

Perhatian terhadap kondisi perpustakaan sangat minim.  Jangankan di sekolah pelosok, di sekolah Ibukota saja, masih ada perpustakaan sekolah yang posisinya di pojok paling ujung dan lampunya remang-remang.  Jadi, jangan bicara tentang pustakawan yang mampu membangun sebuah perpustakaan menjadi tempat impian para pecinta buku di sekolah-sekolah.  Pustakawan di sekolah adalah guru atau tu buangan yang tak bisa apa-apa, daripada nganggur.  Makanya, jangan berharap besar terhadap kondisi perpustakaan saat ini sebagai motor penggerak literasi membaca di sekolah.

Menurut penelitian Perpustakaan Nasional sendiri,dari 30.968 sekolah menengah atas, hanya 14.781 yang memiliki perpustakaan.  Dari 52.710 sekolah menengah pertama, hanya 25.386 yang memiliki perpustakaan.  Lalu, bisa Anda bayangkan bagaimana kondisi perpustakaan di sekolah dasar.  Dari 170.647 sekolah dasar, baru 78.432 yang memiliki perpustakaan.  Oleh karena itu, berharap peningkatan kemampuan membaca dan memahami cerita sederhana dari keberadaan perpustakaan sekolah adalah sikap sembrono.

Lalu, apa lagi yang bisa diharapkan mampu meningkatkan kemampuan membaca dan memahmi cerita sederhana jika guru dan perpustakaan sekolah tak bisa diharapkan?

Tentu kita tak boleh menyerah.  Harus ada langkah yang dikerjakan.  Membiarkan kondisi seperti saat ini, tanpa upaya serius untuk menatasinya, tentu tak boleh.  Akibatnya, bisa sangat fatal karena genersi emas yang akan meneruskan mengelola negeri ini pada seratus tahun kemerdekaan Indonesia, tak bisa diharapkan.  Bagaimana bisa berpikir kritis kalau memahami bacaan sederhana saja mereka tak mampu?

Pemerataan guru sudah tak mungkin dihindari lagi.  Strategi Zonasi dalam mengelola pendidikan di negeri ini, yang sudah diinisiasi sejak menteri Muhajir Efendi, harus dilanjutkan oleh Nadiem.  Penumpukan guru di kota-kota tak boleh lagi terjadi.  Harus ada penyebaran kualitas guru.  Anak-anak di daerah terpencil juga memerlukan guru-guru berlualitas agar mereka mampu mengembangkan potensi dirinya dengan maksimal.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga harus mendorong pemda-pemda untuk membangun perpustakaan sekolah.  Perpustakaan sekolah dapat menjadi tempat penyemaian kemampuan membaca dan memahami cerita sederhana.  Dorong kebiasaan anak-anak untuk selalu memanfaatkan waktu luangnya membaca di perpustakaan.  Gerakan literasi yang digalakkan oleh kementerian harus dibarengi dengan ketersediaan bahan bacaan.  Gerakan literasi sekolah tanpa buku bacaan yang bermutu hanya akan menjadi gerakan sia-sia.

Hal terakhir yang perlu dilakukan oleh Nadiem sebagai bekas pemilik gojek, tentunya mendorong ketersedian bacaan melalui ruang-ruang maya.  Tentu bukan kerja Nadiem belakan, karena program ini memerlukan ketersediaan jaringan.  Akan tetapi, lebih murah menyediakan jaringan daripada melakukan hal lain demi tujuan yang satu ini.  Beberapa waktu lalu diberitakan kementrian pendidikan dan kebudayaan membagikan tablet di sekolah-sekolah di Natuna.  Sebuah terobosan untuk membuka keterisolasian anak-anak di Natuna.  Kenapa hal demikian tidak dilakukan di tempat lain.

Keterisolasian harus dibuka melalui jalur maya.  Apalagi, pustekom sendiri sudah menyediakan banyak sumber belajar melalui portal "Rumah Belajar"-nya. walau isinya terkesan jadul dan belum diupdate juga, tapi masih lumayan untyuk belajar.  Badan Bahasa dn Perbukuan sendiri juga sudah menyediakan buku secara daring sebagai bahan bacaaan.

Seharusnya "Learning Poverty" sudah tak ada lagi di negeri ini.  Tapi, ternyata masih menjadi PR untuk Nadiem Makariem.  Mari kita selesaikan, Mas Menteri!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun