Tiba-tiba saja aku ingin kembali ke rumah itu. Â Rumah berdinding putih bersih. Menghadap ke timur, seperti sedang menyambut matahari yang memberinya pagi. Â Rumah yang pas di depannya berdiri pohon mangga yang kokoh. Â Sedang buahnya mulai ranum. Â Di bawah pohon itu ada sebuah kursi antik tempat perempuan itu selalu duduk.
"Ia memang selalu duduk di sana. Â Sendiri," kata orang yang pernah aku tanya tentang perempuan itu.
Aku sendiri bukan laki-laki yang di lahirkan di dusun itu. Â Aku hanya memiliki aliran darah dari dusun kecil itu. Â Nenekku. Â Ia dulu tinggal dan dibesarkan di dusun itu. Â Sebelum akhirnya dibawa pergi oleh laki-laki yang sangat mencintai dan dicintainya. Â Kakekku. Â Seorang tentara yang selalu melanglangkan langkah-langkahnya untuk menjaga negeri ini.
Sekarang aku ada di dusun ini hanya untuk mencari tali darah yang sekian lama telah putus. Â Dan kata nenekku, aku disuruh ke dusun ini. Menemui saudara sepupunya. Â Aku tinggal di rumah saudara sepupu nenek saya.
Dan mengenai perempuan yang sering aku lihat duduk di depan rumahnya, di bawah pohon mangga yang rindang, di sebuah bangku yang sepertinya sudah sangat akrab dengan tubuh perempuan itu, aku bukan siapa-siapanya. Â Aku hanya merasa ada sesuatu yang mesti aku tuntaskan bersama perempuan itu. Â Dan ini hanya aku yang tahu.
Maka aku ingin lebih lama tinggal di dusun ini.
"Namanya Suritiawati," kata orang mengenai nama perempuan itu. Â Perempuan yang tergolong masih setengah muda. Â Mungkin di antara tuga puluan tahun. Â Sebetulnya usia matang bagi perempuan. Â Kata temanku usia paling enak untuk dimakan ketika pagi, siang, ataupun malam. Â Usia paling menggairahkan. Â Usia di area puncak sebelum kemudian mulai berjalan menuruni tangga usia berikutnya.
Perempuan itu selalu memakai kebaya rapi. Â Seperti orang keraton. Â Langkahnya juga teratur, saat aku mencoba memperhatikannya dengan seksama, di suatu sore yang terang. Â Perempuan itu memang selalu dan selalu duduk di depan rumahnya, di bawah pohon mangga yang rindang, dan di bangku yang sepertinya sudah mengenal lekuk-lekuk tubuh perempuan itu, pada waktu sore. Â Pernah aku pagi dan siang ke rumah putih itu tapi aku tak menemui siapa-siapa kecuali pohon mangga yang rindang dan bangku yang bengong termangu.
Di sore yang terang itu, perempuan itu tak lama duduk di bangku itu. Â Hanya beberapa menit setelah menatap lurus ke arah timur, dia memang lebih senang menatap ke arah timur walaupun di sore hari, perempuan masuk kembali. Â Dan sore ini, aku sudah datang, duduk di sebuah pos ronda yang letaknya tak jauh dari rumah putih tempat tinggal perempuan itu tinggal.
Senja saat ini tidak terlalu terang. Sejak pagi sudah terasa panas seakan tinggal menunggu waktu untuk turun hujan. Â Sudah lama tak hujan. Â Kemarau kali ini memang cukup panjang. Â Bulan Oktober belum juga datang hujan. Â Padahal biasanya, di bulan Oktober sudah mulai muncul berita banjir di mana-mana.
Dan betul, mulai rintik-rintik itu turun. Â Di atas atap seng pos ronda terdengar sekali suaranya yang ritmis. Â Suara gerimis yang juga sering aku lihat selalu dinikmati nenek. Â Kata nenek, suara gerimis adalah suara nyanyian alam. Â Suara yang hanya bisa dinikmati oleh hati-hati yang bening. Â Aku jadi melo juga mengenang nenek yang sekarang entah sedang apa di Semarang sana.
Dan di sore yang gerimis ini, perempuan itu keluar rumah dengan senyum merekah. Â Langkahnya seperti tergesa. Â Langkahnya seperti sedang menyambut berita gembira yang sudah ditunggunya sekian lama. Â Seperti gadis yang menyambut pacar setelah pacarnya pergi ke sebuah kota yang amat jauh.
Perempuan itu ternyata mencintai gerimis, selain mencintai senja. Â Perempuan itu duduk di bawah pohon mangga yang rindang di atas temapt duduk yang seperti erat memeluk pinggangnya. Â Karena pohon mangga itu rindang, perempuan itu memang tidak terkena air gerimis secara langsung, hanya air tampiasan angin yang menggoyang-goyang gerimis seperti sedang mengajaknya menari.
Perempuan itu benar-benar membinar wajahnya. Â Seperti kerinduan yang pecah setelah sekian lama tertahankan. Â Seperti sebuah pesta kemenangan. Â Seperti musik yang ditarikan oleh para sufi.
Aku melihatnya dengan takjub. Â Aku melihat mata perempuan itu yang begitu memesona. Â Senyumnya yang pecah. Â Dan binar wajahnya yang merekah. Â Aku benar-benar jatuh cinta.
Aku ingin bersamanya. Â Aku ingin menikmati sore dan gerimis itu. Â Ingin memeluknya. Â Dan masuk ke dunia bersama. Â Hanya saja, senja berjalan pelan menuju malam. Â Hanya saja, gerimis itu kemudian menjadi hentakan hujan. Â Dan perempuan itu mulai hendak beranjak pulang. Â Perempuan itu tak lagi berbinar. Â Perempuan itu melipat matanya pada derajat paling pekat. Â Senyumnya pelan-pelan minggat.
Ada wajah nenek di sana. Â Siapa dia? Â Mungkinkah dia bayangan nenek saat muda? Â Mungkinkah dia orang yang selama ini kata nenek mencintai sekali wajah senja dan gerimis yang sering datang bersamanya?
"Dan perempuan itu membenci malam. Â Dan perempuan itu membenci huja," kata nenek mengakhiri ceritanya. Â Dan aku telah terserap ke dalam alur ceritanya. Â Dan aku merindukan nenek. Â Yang mungkin sekarang masih merindukan dusunnya.
"Perempuan yang tinggal di rumah itu dibawa tentara. Â Perempuan cantik yang dituduh PKI. Â Perempuan yang telah diperkosa oleh para jagoan yang sok suci. Â Entah di mana sekarang tinggal," kata kepala dusun, saat aku ingin mengetahui siapa yang tinggal di rumah berwarna putih yang sepertinya selalu terjaga rapi itu.
"Siapa yang sekarang tinggal di sana?"
"Kosong."
Tapi aku melihat perempuan itu. Â perempuan yang mencintai gerimis dan juga senja. Â Perempuan yang membenci malam dan hujan. Â Haruskah aku tetap tinggal di dusun ini dan terus mengintai perempuan yang telah menawan hatiku itu? Â
Entahlah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H