Sore masih belum penuh. Â Beberapa pengunjung pantai sudah mulai berkemas. Â Karena langit juga sudah memberi tanda akan segera turun air dari langit.Â
Tak butuh waktu lama, Â air pun tumpah begitu derasnya. Â Semua pengunjung pantai langsung lari terbirit-birit mencari tempat berteduh.Â
Dan ketika sore benar-benar penuh, Â tak ada lagi orang di pantai. Â Hanya penyapu pantai yang selalu bertugas setiap sore mulai membersihkan sampah yang dibuang baik baik maupun yang dibuang sembarangan.Â
Aku sendiri penikmat senja. Â Bukan penikmat asli. Â Karena pada awalnya, aku juga iseng gaya penyair. Â Yang selalu lebih mencintai senja daripada waktu lainnya. Â Ada mitis mengiringi senja.Â
Aku memandang senja di ujung cakrawala. Â Dan aku membayangkan kedatangan seorang gadis molek. Â Gadis yang merindukan ku lalu mencari ku hingga ke pantai ini. Â
Dan itu cuma khayalan seorang penyair gagal seperti ku.Â
Tidak seperti biasanya. Â Sudah tiga senja, Â ada seorang perempuan yang selalu hadir di pantai ini dan selalu berdiri tanpa kutik.Â
Lama sekali ia berdiri di pantai ini dengan pandangan menuju cakrawala. Â Selalu seperti itu selama tiga kali senja.Â
Aku tak berani mendekati perempuan itu. Â Aku hanya memperhatikan dia dari jauh.Â
Aku selalu melihat perempuan itu menangis. Â Beberapa kali dia mengusap air mata nya dengan sapu tangan yang sudah disiapkan nya
Pasti ada yang sedang ditunggu perempuan itu. Â Tapi entah siapa. Â
Harus kah aku mendekati perempuan itu dan menanyakan kepada nya, Â mengapa perempuan itu menangis di pantai ini?Â
Sampai cerpen ini kutulis, aku belum juga keberanian untuk mendekati perempuan itu, apalagi bertanya kepada nya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H