Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Mereka Kehilangan Otaknya

18 Mei 2019   12:50 Diperbarui: 18 Mei 2019   13:00 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Daya kritis itu penting. 

Guru sendiri harus terus didorong untuk menu mbuh kembangkan sikap kritis perserta didiknya.  Dulu, guru lebih menitikberatkan hafalan.   Dalam pelajaran matematika misalnya.  Begitu banyak rumus dihafal seorang siswa, tanpa si siswa sendiri tahu manfaat dari rumus yang dihafalkan nya tersebut. 

Bersikap kritis semakin penting dalam kehidupan yang dipenuhi aneka kebohongan.   Bahkan, agama pun dibuat sebagai bungkus kebohongan semata. 

Agama yang membungkus kebohongan dilakukan oleh mereka berjubah.  Semakin membuat mereka yang tidak kritis terpesona dan menganggap kebohongan itu sebagai ajaran agama. 

Kebusukan apa pun akan diterima sebagai kebenaran ketika agama dijadikan bungkus nya.   Mereka tahu itu.  Dan memanfaatkan nya untuk kepentingan sendiri.  Jahad, emang. 

akan beda jika kebohongan itu menghampiri orang yang bersikap kritis.   Dan kekritisanya akan menolong dari jebakan kebohongan para pembual berjubah. 

Mereka kalah.  Lalu membungkus kekalahannya dengan menuduh pihak lain curang.   Ketika mereka tak bisa menemukan kecurangan itu,  maka tuduhan dibelokkan ke alamat wasit.   Padahal semua orang tahu,  siapa yang mengangkat wasit. 

Hanya kekalahan yang telah membuat otak mereka dibuang.   Mereka berhasil menipu diri sendiri.  Bukan orang orang kritis.   Mereka bergembira sendiri. 

Seperti orang yang kehilangan otak nya.   Mereka tak menyangka jika kebohongan yang dibuatnya justru menjadi bumerang bagi mereka sendiri. 

Tanggal 22Mei mereka tahu pasti kalah.  Tapi tetap saja dungu.  Mencipta narasi narasi tak berdasar hanya untuk konsumsi kalangan sendiri. 

Kerusuhan bisa saja terjadi.   Karena kenekatan mereka yang otak nya sudah digadaikan.   Lebih mudah menghadapi manusia kritis daripada menghadapi manusia tak berotak.   Lebih binatang dari binatang. 

Sebagai seorang guru, saya merasa kewajiban seorang guru untuk mendidik sikap kritis peserta didik akan semakin berat.   Mabok agama juga membuat mereka tak menghargai otak.  Menyedihkan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun