Venezuela memang selalu fenomenal. Â Paling tidak sejak negara itu dipimpin oleh Hugo Chavez.Â
Berani melawan dominasi AS di Amerika Selatan. Â Menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan AS, bahkan ketidakadilan dunia.Â
Membayangkan Chavez seperti membayangkan sikap politik Soekarno bagi negeri ini. Â Keberanian bersikap terhadap dunia yang timpang.Â
Kebetulan Chavez didukung oleh produksi migas dan harga migas yang mampu menopang perlawanan nya. Â Tanpa keberuntungan harga migas, perlawanan terhadap negara sebesar dan se dominan AS, Â hanya sebuah proklamasi bunuh diri.Â
Lalu, Â Chavez meninggal. Â Dan Maduro menerus kan sikap politik Chavez. Â Akan tetapi, Â sayangnya, Â Maduro tak seberuntung Chavez. Harga minyak dunia seperti terjun bebas pada era Maduro.Â
Dan perlawanan Maduro menjadi sebuah bunuh diri pelan pelan. Â Keuangan negara itu, terjerembab ke lubang paling dalam. Â Ekonomi hancur.Â
Kemudian, Â perlawanan muncul. Â Himpitan ekonomi yang membuat ribuan warga Venezuela eksodus ke negara negara tetangga, juga menjadi petaka buat kekuasaan Maduro.Â
Masih untung ada militer di belakang Maduro. Tanpa militer, Â mungkin saat ini Maduro sudah bukan siapa-siapa.Â
Kini muncul Guaido di Venezuela.  Amarika Serikat sudah mengakui.  Uni Eropa  mengancam mengikuti AS, jika Maduro tak menyelenggarakan pemilu segera.  Bahkan Uni Eropa menyebutkan angka 8 hari.Â
Rusia dan China mendukung Maduro dan mengecam tindakan AS. Â
Hal demikian, jelas menggambarkan perang antara kepentingan negara negara besar  di Venezuela.Â
Venezuela bukan hanya perseteruan antara Guaido dengan Maduro. Â Tapi juga perseteruan antara AS dengan Rusia dan China.Â
Akankah ada Suriah di Amerika Selatan? Entahlah!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H