Seorang penyair sempat menjelaskan tentang puisi sebagai "semua tulisan yang ditulis dengan maksud menulis puisi". Â Tak ada wilayah khusus puisi dengan njelimet pendefinisiannya.
Akhirnya, semua orang bisa menulis puisi. Â Dan bahkan kadang-kadang memproklamirkan diri ke mana-mana sebagai penyair dengan jumlah puisi yang banyak tapi entah puisi itu ada di mana.
Dulu, waktu masih kuliah di jurusan bahasa Indonesia, rujukan puisi atau cerita bagus adalah majalah Horison. Â Puisi yang ada di majalah tersebutlah yang disebut puisi. Â Selain itu, cuma sampah kata-kata.
Tapi kini telah terjadi revolusi puisi atau sastra pada umumnya. Â Bahkan majalah Horison pun akhirnya alhmarhum karena orang sudah tak suka puisi-puisinya yang terkesan serius (baca: angker).
Semua orang bisa menulis puisi. Â Puisinya juga tak perlu susah-susah dikirm ke mana-mana, cukup ditulis di blog pribadinya, maka ia pun sudah layak menyebut dirinya sebagai seorang penyair.
Puisi sudah menjadi biasa.
Bagaimana dengan tafsir atas puisi?
Dulu. Â Dulu banget. Â Hanya kritikus yang boleh menafsir puisi. Â Selain kritikus, silakan minggir. Â Tak ada ruang untuk mereka. Â Mungkin Anda mengenal salah satu kritikus itu yaitu HB Yasin.
Tapi kini semua orang bisa menafsir sebuah puisi. Â Bahkan semau-maunya. Â Bahkan mereka yang mungkin selama hidupnya tak pernah sekali pun membaca puisi, kemudian mendadak muncul sebagai penafsir puisi.
Sehingga muncul ustad-ustad yang muncul menafsir puisi dengan ilmu agama yang dimilikinya. Â Puisi yang jelek menjadi semakin jelek ditafsir oleh kritikus jelek.
Akhirnya, puisi terbebani agama pula.