Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Serundeng dan Arisan Emak

21 Desember 2017   21:27 Diperbarui: 21 Desember 2017   21:42 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Emak. Sekarang masih sehat, segar, bugar dan sedang menunggu giliran naik haji. Satu obsesi yang masih dirindukan. Semoga segera tercapai.

Emak. Siapa sih yang bisa melupakan pengorbanan nya?

Terlalu banyak untuk diceritakan. Tak akan mampu waktu untuk menceritakan segala pengorbanan ibu.

Ada dua cerita yang selalu membuatku menangis hingga kini. Karena belum bisa membalasnya. 

Selepas SD, saya langsung ke pesantren.  Di samping alasan belum ada SMP di daerahku, bapakku yang tamatan pesantren, menginginkan aku tahu agama untuk bekal masa depan.

Tapi saya yakin, alasan biaya menjadi alasan saya dimasukan ke pesantren.  Bukan pesantren modern yang sekarang ditawarkan bahkan dengan uang pangkal yang tak masuk akal. Pesantren yang aku jejaki hanyalah pesantren kampung yang masih menggratiskan segalanya.

Makan tak beli. Untuk makan saya memasak nasi sendiri. Lauk terkadang lebih pada asal ketemu.  Krupuk saja sudah berasa mewah, karena harus beli.

 Setiap dua minggu sekali, diperbolehkan pulang kampung.  Dan, emak tahu betul kalau dihitung pakai kalkulator paling canggih pun, uang yang diberikan bapak tak akan cukup untuk sebulan atau dua minggu saat pulang kampung berikutnya.

Tapi, emak selalu berpesan untuk mendahulukan pembayaran yang sekolah. Jangan sekali sekali terlambat membayar uang sekolah. Hal yang kemudian baru saya pahami saat saya sudah menjadi guru.

Untuk lauk, emak selalu membuatkan serundeng. Lauk yang dibuat dari parutan kelapa. Digoreng hingga rasa gurihnya mak nyusss....

Sarundeng bisa tahan dua minggu. Tapi, karena makan di pesantren selalu bareng, maka dalam seminggu, serundeng emak sudah ludes. Saya yakin emak juga senang kalau tahu saya selalu membaginya ke teman teman di pesantren yang nasibnya sebelas dua belas dengan nasib anaknya.

Sarundeng emak adalah sejarah yang begitu dalam menempati relung hati saya hingga kini. Sarundeng emak telah ikut menyelamatkan pendidikan anak anaknya. Karena bukan hanya saya yang mendapat makanan spesial itu, tapi juga adik adik saya.

Hal kedua yang membuat lukisan di benakku adalah sebuah peristiwa di suatu hari menjelang lebaran.  Lebaran tinggal hitungan hari. Adik adik saya Sudah punya baju baru. Karena puasa saya ngaji di pesantren, saya baru pulang menjelang lebaran.

Tinggal saya yang tak punya baju baru. Saya sendiri tak apa. Saya tahu bapak dan emakku yang tak punya uang untuk anak anaknya yang jumlahnya sampai sepuluh.

Tapi, lagi lagi kasih sayang ibu atau emak hadir.  Emak dapat arisan. Jangan berprasangka arisan yang sampai ratusan ribu atau jutaan.

Uang yang memang hanya cukup untuk membeli bajuku itu benar benar dibelikan baju untukku.  Saya sempat menolak, tapi emak memaksa saya ikut ke pasar.

Hanya bajuku yang dibelinya. Dia sendiri memakai baju lama dan mukena kumal.

Terima kasih, emak. Tak ada lagi kata selain doa semoga segera mendapatkan nomor urutan haji tahun ini.

Amin 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun