Aku cuma pedagang keliling dengan penghasilan yang kadang hanya cukup untuk makan hari itu juga. Â Tak lebih. Â Kadang malah kurang. Â Sehingga, bagai mendengar petir di siang hari bolong sat biniku minta dibeliin mobil. Â Jangankan mobil, motor saja, sepertinya tak akan pernah terbeli.
"Pokoknya Abi harus beliin mobil," rajuk biniku.
"Tapi ..."
"Tak usah pakai tapi. Â Pokoknya, kalau gak bisa beli mobil, maka umi akan ..." biniku tak melanjutkan kata-katanya.
Walau pun kalimatnya sengaja digantung, aku tahu maksud biniku itu. Â Karena tetangga sudah sering bisik-bisik kalau biniku suka keluar rumah saat aku pergi berdagang. Â Kadang malah, pulangnya pun hampir bersamaan dengan kepulanganku. Â Menjelang magrib atau kadang menjelang Isya.
Aku hanya diam. Â Hanya dendam yang kian deras mengalir dalam tubuhku. Â Dendam yang tak mungkin dimundurkan kembali. Â Aku yakin, alasan mobil hanyalah alasan yang dibuat-buta. Â Karena malaikat pun tahu, aku tak akan pernah bisa membeli mobil sampai kapan pun. Â Dan artinya ...
Biniku sedang terlelap tidur saat aku bangun, ke dapur, dan mengambil pisau yang sudah tajam mengkilap. Â Mata pisau itu benar-benar tajam. Â Aku terkenang puisi Sapardi Joko Damono. Â Ah, segera puisi itu aku singkirkan. Â Karena, malam ini juga aku ingin mengakhiri dendamku.
Dan aku pun melangkah pasti. Â Kembali ke kamar. Â Memandang tajam perempuan jahanam itu sedang terlelap. Â Semoga lancar.
"Ada apa, Bi?"
Dan aku kaget melihat biniku terduduk sambil mengucek mata.
"Untuk apa pisau itu?"
Dan aku terdiam. Â Berdiri tegak tanpa gerak.
"Sini pinjam!"
Dan aku memberikannya.
Lalu ....