Berita ini jelas menggemparkan kampungku yang luasnya cuma sepelemparan batu. Â Masa ada orang yang bersuamikan babi? Â Setiap orang selalu balik bertanya jika ditanya tentang perempuan yang menikahi babi.
Pada awalnya, memang laki-laki dari luar kampung yang datang ke kampungku di suatu senja. Â Dia datang dengan tas tenteng dan sepatu orang kota. Â Pakai celana jins. Â Kacamata hitam. Â Tak ada orang kampungku yang berani dan bisa berpenampilan seperti itu.
Kami jelas kaget saat tahu kampung kami kedatangan tamu dari kota. Â Kami merasa rendah diri kalau kedatangan orang kota yang katanya pinter-pinter. Â Di kampung kami, orang yang sekolahnya paling tinggi cuma kepala dusun. Â Dia tamat SMP di kota. Â Karena dianggap paling pinter di antara kami, maka dia kami angkat sebagai kepala dusun.
"Di sini ada perempuan yang menikahi babi?" tanya laki-laki kota kepada setiap orang kampung kami yang dijumpainya.
Dan orang kampung kami tak bisa menjawab. Â Dari mulut-mulut orang kampung kami, yang keluar justru pertanyaan balik, "masa ada orang bersuamikan babi?"
Laki-laki kota itu tidak puas. Â Matanya yang tertutup kacamata hitam mencuri-curi pandang ke segala arah. Â Tapi, tak menemukan tanda-tanda kalau di kampung kami memang ada perempuan yang menikahi babi.
Dua malam laki-laki kota itu bermalam di kampung kami. Â Menumpang nginap di rumah kepala dusun. Â Rumah paling bagus di kampung kami. Â Setelah dua malam, laki-laki itu menghilang. Â Tak ada yang tahu ke mana laki-laki itu pergi.
Anehnya, bersamaan dengan hilangnya laki-laki kota itu, hilang pula bini kepala dusun. Â Juga tak ada yang tahu ke mana bini kepala dusun pergi. Â Sehingga kami pun tak mencarinya. Â Kepala dusun juga sudah menikah lagi dengan perawan paling cantik di dusun kami. Â Mungkin kepala dusun juga sudah melupakan mantan bininya yang menghilang dulu.
Dan sampai sekarang, tak ada satu pun penduduk di kampung kami yang luasnya tak beda dengan pelemparan batu itu mengetahui, siapa gerangan perempuan yang telah menikahi babi.
Lho?