Doa adalah perbuatan orang-orang bodoh. Â Orang yang terlalu ringkih menghadapi cobaan. Orang cengeng yang bingung menghadapi kenyataan.
Tapi biarlah.
Diah menengadahkan hati. Â Memejamkan mata. Â Mencoba menyapa pada Yang Kuasa. Â Ya, Diah lebih suka dengan menyapa kepada-Nya daripada berdoa. Â Tuhan pasti tahu apa yang terbaik bagi kita. Â Tak usah kita meminta, Dia pasti akan memberikan yang terbaik. Â Doa hanya tampak pada sikap congkak kita karena hendak mengatur Tuhan.
"Tuhan, aku tahu, apa pun yang Engkau berikan adalah jalan terbaik," lirih Diah.
Malam memang semakin larut. Â Kota kecil semakin terkesan tak ada lagi kehidupan. Â Memang masih ada yang suka nongkrong di ujung jalan. Â Di warung kopi. Â Ngobrolin banyak hal. Â Dari rupiah yang naik turun. Â Hingga anggota DPRD yang ditangkapin sama KPK. Â Pokoknya, semua menu ada di warung kopi.
Kalau di zaman orde baru obrolan politik tabu, saat ini obrolan politik adalah menu utama di setiap perjumpaan di warung kopi. Â Dan obrolan itu selalu hangat.
"Ibu terlalu banyak dosa, Nduk," nafas ibu semakin terasa berat.
Ada batuk yang tertahan. Â Batuk itu sudah ada sejak Diah kecil. Â Diah sering mendengarnya. Â Bahkan pernah juga dahaknya berwarna merah. Â Diah tahu tapi Diah hanya bisa diam.
Diah tak tahu dosa apa yang telah diperbuat ibu. Â Akan tetapi, dosa itu jelas sekali membebani hidup ibu begitu lama. Â Seusia gurat di wajah ibu yang katanya akibat terjatuh. Â Gurat itu tampak tidak wajar. Â Diah pernah menanyakannya pada ibu tapi malah menyuruh Diah cepat menghabiskan sisa makan dan segera pergi ke sekolah.
"Sudah lama ibu ingin bicara berdua denganmu. Â Tapi keburu kamu pergi dan sekarang baru mau kembali," seakan ada penyesalan yang begitu dalam.
Seseorang memang selalu terbebani sejarah. Â Sejarah yang selalu tak lurus. Â Sejarah yang selalu berkelok dan berkelok. Â Namun, kelokan-kelokan itu yang membuat sejarah terkadang menggembirakan, menegangkan, bahkan mengkhawatirkan. Â Sejarah yang terkadang hanya bisa disimpan untuk dikenang.