Yu Karti.
Perempuan itu telah menjadi ibu kedua Diah. Â Kalau ada persoalan yang tak bisa didialogkan dengan ibu, Diah selalu datang ke pangkuan Yu Karti. Â Mungkin karena Yu Karti yang tak punya anak dan hidup dalam ruang yang sendiri nan sepi, maka Yu Karti juga selalu menerima Diah dengan dua tangan yang terbuka. Â Yu Karti bahkan sering juga nyamperin ke rumah Diah, kalau Diah sampai beberapa hari tak nongol batang hidungnya di rumah Yu Karti.
Mungkin seperti Diah dan Rara saat ini.
Diah juga sering merasa sudah tua kalau sedang sendiri. Â Sering merasa tak berguna hidup di dunia ini, kalau sedang sendiri. Â Beda kalau detik-detiknya dihirup bersama Rara. Â Ada nuansa lain. Â Ada gairah yang tak bisa diceritakan di sini. Â Terlalu sempit sebuah kata untuk melukiskannya.
Yu Karti sendiri sekarang sudah meninggal. Â Beberapa tahun setelah Diah kabur ke Jakarta. Â Iya. Â Diah memang kabur. Â Diah memang berlari mengejar mimpi di satu sisi. Â Tapi juga menghindari perasaan tak karuan di kota kecil tempat Diah dilahirkan. Â Nuansanya lebih dekat ke kabur daripada sebuah pengejaran.
Malam itu udara biasa saja.
Bintang di langit juga biasa. Â Bersinar selalu, baik diminta maupun tidak. Â Bulan tak ada. Karena memang tanggal yang semakin tua. Â Gelap-gelap sedap. Â Karena listrik juga belum masuk. Â Hanya tampiasan sinar temaram dari lampu minyak yang menemani Diah dan Yu Karti. Â Mereka berdua memang belum ngantuk.
Lalu pembicaraan pun ke arah itu.
"Diah, bukannya Yu Karti punya maksud tertentu. Â Yu Karti mau memberitahu sesuatu. Â Sebetulnya ini juga sepengetahuan ibumu. Â Ibumu yang mengamanatkan pada Yu Karti untuk menyampaikannya padamu," suara Yu Karti agak sedikit tegang.
"Ada apa, Yu? Â Kayaknya serius banget," kata Diah.
"Tentang kamu dan kakakmu, Di," tambah Yu Diah. Â Kata-kata yang langsung membuat Diah berkonsentrasi pada hal apa lagi yang hendak dismapaikan Yu Karti.
"Tentang Diah?"
"Iya. Â Tentangmu. Â Penting. Â Dengerin, ya?"Â
Namun waktu yang agak melambat itu terlampaui juga. Â Yu Karti, perempuan yang selama ini dianggap Diah sebagai salah satu perempuan teguh seperti Kartini pun agak lindap. Â Yu Karti seperti sedang memilin kata-kata. Â Sedang menyeleksi setiap butirnya agar takarannya pas. Â Tak lebih dan tak kurang. Â Terutama tidak menggeleparkan hati manusia di hadapannya.
"Kenapa ibu tak mau menyampaikannya sendiri?" tanya Diah.
"Ibumu tak sanggup menyampaikan berita ini. Â Makanya ibumu memintaku untuk menyampaikan ini. Â Tak apa, kan?"
"Tak apa bagaimana?" Diah mengingat mata teguh ibu. Â Mungkin keteduhan itu yang membuat ibu tak bisa menyampaikan berita ini. Â Tapi, harusnya ibu sendiri yang menyampaikan.
Diah mengangguk. Â Entah setuju. Â Entah kalah.
"Kamu tahu kan, Di. Â Tak ada manusia yang luput dari dosa? Â Ini memang tentang dosa-dosa ibumu. Â Dosa masa lalu, tentunya. Â Inumu sudah bertaubat. Â Makanya, ibu ingin menyampaiakan berita ini padamu. Â Sayang, ibumu tak mampu untuk mengerjakan yang satu ini, jadi meminta bantuanku."
Malam kian sepi.
"Aduh gimana, ya?" Yu Karti mulai bingun sendiri.
Yu Karti saja tak bisa menentukan awal cerita, mungkin ibu juga lebih tak tahu lagi. Â Berita ini memang berita yang super duper akan memingsankan orang yang diajak bicara. Â Seandainya secara mental dia belum siap. Â Bahkan orang yang sudah siap secara mental pun akan sedikit terguncang dengan berita ini.
"Kamu itu bukan anak Legimin."
"Apa?!" teriak Diah kaget super duper mendengar kata yang barusan keluar dari mulut Yu Karti.
"Kamu anak ibumu, tapi kata ibumu, kamu bukan anak Legimin yang selama ini kamu anggap dan panggil bapak. Â Makanya kau pasti mengalami penderitaan karena kelakuan bapakmu tapi sebetulnya dia bukan bapakmu yang sebenarnya."
Langit langsuh runtuh.
(Bersambung)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H