"Tentang Diah?"
"Iya. Â Tentangmu. Â Penting. Â Dengerin, ya?"Â
Namun waktu yang agak melambat itu terlampaui juga. Â Yu Karti, perempuan yang selama ini dianggap Diah sebagai salah satu perempuan teguh seperti Kartini pun agak lindap. Â Yu Karti seperti sedang memilin kata-kata. Â Sedang menyeleksi setiap butirnya agar takarannya pas. Â Tak lebih dan tak kurang. Â Terutama tidak menggeleparkan hati manusia di hadapannya.
"Kenapa ibu tak mau menyampaikannya sendiri?" tanya Diah.
"Ibumu tak sanggup menyampaikan berita ini. Â Makanya ibumu memintaku untuk menyampaikan ini. Â Tak apa, kan?"
"Tak apa bagaimana?" Diah mengingat mata teguh ibu. Â Mungkin keteduhan itu yang membuat ibu tak bisa menyampaikan berita ini. Â Tapi, harusnya ibu sendiri yang menyampaikan.
Diah mengangguk. Â Entah setuju. Â Entah kalah.
"Kamu tahu kan, Di. Â Tak ada manusia yang luput dari dosa? Â Ini memang tentang dosa-dosa ibumu. Â Dosa masa lalu, tentunya. Â Inumu sudah bertaubat. Â Makanya, ibu ingin menyampaiakan berita ini padamu. Â Sayang, ibumu tak mampu untuk mengerjakan yang satu ini, jadi meminta bantuanku."
Malam kian sepi.
"Aduh gimana, ya?" Yu Karti mulai bingun sendiri.
Yu Karti saja tak bisa menentukan awal cerita, mungkin ibu juga lebih tak tahu lagi. Â Berita ini memang berita yang super duper akan memingsankan orang yang diajak bicara. Â Seandainya secara mental dia belum siap. Â Bahkan orang yang sudah siap secara mental pun akan sedikit terguncang dengan berita ini.