Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

3 Hati dalam Gelas (22)

6 April 2016   12:57 Diperbarui: 6 April 2016   13:20 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Matahari pagi memang benar-benar indah. 

***

Ibu belum juga memberitahu hal itu.  Padahal sudah bertahun-tahun Diah menyimpan berita itu dengan rapi dalam hati.  Diah tak ingin menanyakannya kepada ibu.  Diah ingin ibu yang menyampaikannya sendiri.  Entah kapan ibu mau menyampaikannya.  Namun Diah tetap mencoba untuk bersabar.

Diah sendiri mendengar berita yang sebetulnya sangat mustahil dari Yu Karti.  Yu Karti sahabat baik ibu.  Seingat Diah, sejak Diah mulai memiliki ingatan, Yu Karti sudah menjadi sahabat ibunya.

Tidak mungkin Yu Karti hanya ingin memfitnah ibu.  Tak mungkin.

Sekeras-sekeras hati Diah, tetap saja dia meradang.  Bertahun-tahun Diah tak mau pulang juga karena hal ini.  Karena ibu belum juga mau menyampaikan kebenarannya.  Padahal berita ini sangat penting bagi Diah.  Sebuah akar kehidupannya.  Sebuah titik mula.  Sebuah keberangkatan.

Titik keberangkatan yang salah akan berakibat pada akhir yang tak benar.  Walaupun tidak selalu seperti itu.  Kadang ada juga penyimpangan.  Hanya saja, sebagai manusia biasa, hukum umumlah yang harus dipegang erat-erat untuk menapaki setiap langfkah kehidupan.  Tanpa itu, mungkin saja akan tersesat.

Suatu sore.  Saat Diah sedang ingin berkunjung ke rumah Yu Karti.  Dan kebetulan Yu Karti ada di rumah.  Sendiri.  Suaminya sedang pergi.  Dan memang lebih sering seperti itu.  Kata beberapa orang, suami Yu Karti malah sudah kawin lagi.  Entah.

Yu Karti tak punya anak.  Benar.  Kalau sebab dari hal itu ditimpakan kepada Yu Karti juga sebetulnya tak adil.  Kalau mereka berdua tak punya anak, bisa aja yang mandul suaminya.  Tapi dunia memang sudah dari sononya miring.  Jadi, perempuanlah yang harus selalu menjadi korban.  Dunia sering dianggap sebagai milik para lelaki, sedang perempuan hanya berhak mendampinginya.

(Bersambung) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun