"Emang Mbak Diah ditanya apa?"
"Nggak apa-apa," jawab Diah yang tak mau memperpanjang teror yang sudah mengganggu hidupnya itu. "Ra, kamu mau jalan-jalan ke kebun tebu?"
"Mau, mau."
Diah mengajak Rara menyusuri jalan kecil di tengah perkebunan tebu. Â Tak ada yang terlihat di depan atau samping karena tertutup tebu. Â Hanya langit yang kelihatan biru cerah.
Hingga sampai di sebuah gubuk. Â Diah mengajak Rara untuk istirahat di gubuk itu.
"Bun, kita naik ke bukit itu saja. Â Kalau dari atas bukit itu, matahari terbit bagus untuk selfi."
"Ayo kita naik ke sana!"
Diah dulu juga sering naik ke bukit itu. Â Bukan untuk melihat matahari terbit. Â Bukan untuk selfi. Â Tapi untuk menghilangkan kesedihan. Â Di atas bukit itu ada pohon asem. Â Dulu, pohonnya masih kecil. Â Diah memanjatnya. Â Berdiam diri di atas. Â Tidak menangis. Â Kalau menangis dan bekasnya ketahuan bapak, maka Diah akan ditamparnya. Â Sakit banget tamparan bapak. Â Apalagi karena Diah merasa sedih memiliki bapak seperti itu, rasa tamparan menjadi berkali lipat.
Dodo yang kadang datang menemani. Â Diah sering tidak tahu kalau Dodo akan datang menemaninya. Â Tapi, Dodo selalu ada dan menemani Diah yang sedang berada di atas pohon membuang sedihnya.
"Do ...."
(Bersambung)