Ibu belum juga mengucapkan satu kata pun. Â Suasana jadi begitu menegangkan. Â Apa ibu juga masih ragu untuk mengatakannya? Â Entahlah. Â Ada sedikit gurat ragu itu memang. Â Terbayang dari sorot mata ibu yang terkesan melayang.
"Ehm..."
Afra dan Diah bahkan tak berani menggerakkan tubuhnya. Â Seakan terpaku pada hal penting yang hendak dikatakan ibu. Â Tapi, ibu justru yang tidak biasa. Â Biasanya ibu selalu teguh dalam banyak hal. Â Tapi kenapa sekarang ada kesan rapuh?
"Kakakmu  ..."
Ibu belum juga meluncurkan kata kecuali satu kata itu. Â Lalu berhenti agak lama. Â Menarik nafas. Â Dan matanya menatap langit-langit ruang.
"Kakakmu masih hidup, Nduk. Â Beberapa waktu lalu, dia tiba-tiba saja datang ke sini. Â Bertahun-tahun dia mencoba mencari akar tumbuhnya. Â Bertahun-tahun dia mencari sejarah dirinya. Â Lalu, dia temukan ibu dan adiknya. Â Kakakmu ingin sekali bertemu denganmu. Â Tapi, menurut ibu, lebih baik kalau kamu yang menemuinya, Nduk."
Ada berkas sinar kebahagian di mata Diah. Â Walau kabar itu baru sepotong saja, tapi setiap kali mendengar ada talian saudara, Diah selalu bahagia. Â Kakak laki-laki itu yang mungkin suatu saat akan menikahkannya.
Bukan hanya itu, sudah lama sekali, Diah ingin sekali punya labuhan untuk berbagi. Â Sebetulnya bisa saja Diah berbagi dengan Afra, tapi entah kenapa Diah merasa ada jarak yang tak pernah terlihat yang menghalanginya untuk berbagi cerita dengan Afra. Â Sedang dengan kakak yang tak pernah dikenalnya, Diah bahkan sudah merasa ada sambungan yang mengeratkan.
"Kakak tinggal di mana, Bu?" tanya Diah.
"Tinggal di Bandung. Â Alamat lengkapnya ada di Afra. Â Nanti kamu catat saja."
"Bagaimana kabarnya?"