Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

3 Hati dalam Gelas (19)

31 Maret 2016   12:57 Diperbarui: 31 Maret 2016   13:05 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam mulai larut.  Mereka bertiga masih ngobrol.  Tak ada rasa ngantuk.  Tak ada rasa lelah.  Yang ada dan penuh di dada mereka adalah rasa rindu. Rindu yang menggebu.

"Mbak Diah masih ingat Dodo?" tanya Afra.

Diah pura-pura mikir.  Jidatnya dikerutkan.

"Dodo yang mana y, Fra?"

"Anaknya haji Misbah.  Perasaan dulu sekolahnya bareng mbak deh."

"Oh dia.  Iya.  Kenapa?" Diah penasaran.

"Haji Msibahnya kan sudah meninggal."

"Inna Lillahi.  Kapan?"

"Udah lama, Mbak.  Gara-garanya juga si Dodo juga.  Dia kan anak satu-satunya.  Haji Misbah pengin anaknya bisa menggantikannya menjadi mubaligh.  Tapi Dodo nggak mau."

Diah tahu.  Dodo memang tak mau jadi mubaligh.  Kata Dodo, menjadi mubaligh kayak bapaknya itu banyak bohong.  Dodo sering bilang kalau ayahnya paling pelit di dunia.  Jangankan untuk bersodaqoh atau berinfaq, untuk ngasih uang jajan anaknya saja pelit banget.  Padahal, sambung Dodo waktu itu, ayahnya paling fasih bicara tentang sodaqoh dan keistimewaan infaq.

Dodo pengin jadi saudagar.  Seperti Usman bin Affan.  Atau Abdurahman bin Auf.  Dua sahabat nabi yang terkenal sebagai saudagar dan sekaligus sahabat yang paling banyak menyumbang harta untuk perjuangan nabi.  Tak mau Dodo menjadi pembohong seperti ayahnya.  Jadi, sangat mungkin Dodo menolak kemauan ayahnya.

"Dodo bunuh?" pancing Diah.

"Ya enggak lah, Mbak.  Tapi membunuh secara tidak langsung.  Dodo tak mau saat ayahnya menyuruh sekolah di pesantren setamat SMA.  Kata Haji Misbah, boleh kuliah, asal di pesantren.  Sekarang kan banyak kampus yang menyatu sama pesantren," jelas Afra.

"Bu Hajinya?"

"Mamanya Dodo juga meninggal tak lama kemudian.  Setelah Dodo pergi ke Jakarta."

"Dodo sekarang di Jakarta?"

"Iya.  Ada yang bilang dagang roti, ada yang bilang dagang tahu.  Entahlah," jelas Afra.

"Di mana?"

"Orang bilang di daerah Duren sawit."

Hati Diah benar-benar bergetar.  Bagaimana pun juga di dalam hati Diah masih ada rasa itu.  Rasa yang dulu pernah membesar saat SMA.  Dan hingga kini masih tersimpan rapi.  Di salah satu ruang di hati yang paling ujung.

Duren Sawit?  Berarti tak jauh dari tempat Diah mengajar.  Diah juga mengajar di salah satu SMP di Kecamatan Duren Sawit.  Jangan-jangan Dodo dekat sekolahnya.

Atau jangan-jangan Dodo sudah tahu tentang Diah.  Tapi diam-diam.  Karena Dodo tak mau ditolak untuk yang kedua kali.  Mungkin juga Dodo tak tahu kalau sekarang Diah sudah menjadi perempuan beneran.  Bukan perempuan yang setengah laki-laki seperti dulu saat SMA.

Semoga bisa ketemu suatu saat, doa Diah.

"Kenapa, Mbak Diah?"

"Enggak apa-apa.  Cuma kalau benar Dodo tinggal di Duren Sawit, berarti satu kecamatan dengan tempat aku ngajar," jawab Diah sambil mengerahkan sekuat tenaga agar rasa yang tertinggal itu tidak diketahui adiknya.

"Waktu mbak Diah kuliah, Dodo sering banget nanyain alamat mbak."

"Kamu kasih?"

"Aku kan nggak tahu alamat persisnya.  Aku cuma bilang kampusnya."

Diah ingat.  Pernah suatu hari ada yang mencari Diah.  Tapi orang yang mencari itu tak jelas.  Dan tak pernah ketemu.  Karena Diah sendiri baru ke taman kampus dua jam kemudian.  Si penyampai pesan kelupaan.  Mungkin dia itu Dodo.  Karena berdasarkan cerita teman tentang ciri-ciri orang yang mencarinya, semua itu merujuk pada sosok Dodo.

Setelah itu tak terdengar ada tanda apa-apa lagi.

Ibu tak bicara apa-apa.  Seperti biasa, ibu memang selalu menjadi pendengar yang baik.  Ibu hanya bicara hal-hal yang dirasa sangat penting. 

"Nduk, ibu mau ngomong," sela Ibu.

Afra Diam.  Diah diam.  Pasti ada sesuatu yang amat sangat penting hingga ibu memotong obrolan seru mereka.  Mata Diah tertuju pada mulut ibu.  Ingin memahami betul setiap huruf yang keluar dari dalamnya.

(Bersambung)

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun