"Dodo bunuh?" pancing Diah.
"Ya enggak lah, Mbak. Â Tapi membunuh secara tidak langsung. Â Dodo tak mau saat ayahnya menyuruh sekolah di pesantren setamat SMA. Â Kata Haji Misbah, boleh kuliah, asal di pesantren. Â Sekarang kan banyak kampus yang menyatu sama pesantren," jelas Afra.
"Bu Hajinya?"
"Mamanya Dodo juga meninggal tak lama kemudian. Â Setelah Dodo pergi ke Jakarta."
"Dodo sekarang di Jakarta?"
"Iya. Â Ada yang bilang dagang roti, ada yang bilang dagang tahu. Â Entahlah," jelas Afra.
"Di mana?"
"Orang bilang di daerah Duren sawit."
Hati Diah benar-benar bergetar. Â Bagaimana pun juga di dalam hati Diah masih ada rasa itu. Â Rasa yang dulu pernah membesar saat SMA. Â Dan hingga kini masih tersimpan rapi. Â Di salah satu ruang di hati yang paling ujung.
Duren Sawit? Â Berarti tak jauh dari tempat Diah mengajar. Â Diah juga mengajar di salah satu SMP di Kecamatan Duren Sawit. Â Jangan-jangan Dodo dekat sekolahnya.
Atau jangan-jangan Dodo sudah tahu tentang Diah. Â Tapi diam-diam. Â Karena Dodo tak mau ditolak untuk yang kedua kali. Â Mungkin juga Dodo tak tahu kalau sekarang Diah sudah menjadi perempuan beneran. Â Bukan perempuan yang setengah laki-laki seperti dulu saat SMA.