Senyum itu masih juga renyah. Â Senyum itu masih seperti dulu. Â Bertahun-tahun Diah merindukan senyum itu. Â Senyum yang selalu menentramkan hati Diah segalau apa pun Diah.
Senyum ibu.
Ibu berdiri di teritis rumah. Â Rupanya sudah dari tadi menunggu Diah. Â Turun dari Andong, Diah langsung menghambur ke tangan renta itu. Â Tangan yang tak ada bandingannya di dunia ini. Â Tangan yang pelukannya terus-menerus menebar ketentraman.
"Ibu..." kata Diah dalam derai air mata yang tak mungkin dibendung lagi.
Diah mendekap wanita yang semakin kelihatan tua dengan banyak keriput kulit. Â Erat. Â Erat sekali. Â Pelukan yang sekian tahun tertahan. Â Ibu hanya diam. Â Air mata yang hendak jatuh tampak sekali ditahannya.Â
"Kamu sehat, Nduk?"
Selalu pertanyaan itu yang menjadi pertanyaan pembuka. Â Ibu tak pernah menanyakan apa pun selain kesehatan. Â Bagi ibu kesehatan anak-anaknya adalah berkah paling berharga.
Diah mengangguk.
Ibu membimbing Diah masuk ke ruang tamu. Â Ruang tamu yang tak jauh berbeda dengan waktu Diah meninggalkannya dulu. Â Ruang tamu yang hanya berisi beberapa kursi yang nyaris reyot. Â Untung saja suami Afra bisa sedikit ilmu pertukangan sehingga kursi-kursi yang sudah mulai lapuk dimakan waktu masih mampu menyanggu tubuh di atasnya.
"Ibu juga?"
Ibu mengangguk. Â Dengan senyum yang selalu terlihat tulus. Â Senyum yang juga selalu menggugurkan amarah Diah. Â Amarah Diah selalu saja kalah dan menyerah. Â Saat amarah itu bertubrukan dengan senyum ibu.