"Saya sudah tahu. Â Ibu tak perlu terburu. Â Segala sesuatu yang dilakukan terburu hanya akan mengundang bara. Â Hadapilah hidup ini dengan tenang. Â Kalau melihat sesuatu dengan tenang. Â Hati juga akan benderang," sela kepala sekolah lagi.
Diah berusaha menarik nafas. Â Menarik nafsu yang memburu. Â Himpitan antara sedih, salah, dan marah. Â Tapi memang betul apa yang dikatakan oleh kepala sekolah. Â Sikap kepala sekolah yang terkadang membosankan, sepertinya sangat bermanfaat disaat situasinya seperti ini. Â Tenang ... tenang ... tenang, bisik Diah pada dirinya sendiri.
"Bapak sudah tahu semua?"
"Iya. Â Dan saya tak akan gegabah dalam mengambil keputusan. Â Apakah masa lalu seseorang harus selalu diberi hukuman? Â Bagaimana menurut, Ibu?" tanya kepala sekolah.
"Sebetulnya, saya juga sependapat dengan bapak. Â Tapi, saya kurang nyaman kalau harus mengajar dalam kondisi seperti ini," jelas Diah.
"Ibu mau izin dulu? Â Silakan. Â Tenangkan dulu suasana hati ibu."
"Tidak, Pak."
"Tapi ibu harus tenang menghadapi cobaan seperti ini. Â Seperti ibu hidup bertetangga, kan? Â Ibu tak bisa memeilih tetangga. Â Ibu juga tak bisa memilih teman dalam bekerja. Â Kita seperti sudah terberi. Â Kalau kebetulan tetangga atau teman kerja kita baik semua, bersyukurlah kita. Â Tapi, kalau ada tetangga atau teman kita yang usil, tak perlu kan kita merutuk hidup, apalagi merutuk Tuhan? Â Tuhan punya rencana terbaik bagi kita," nasihat kepala sekolah.
Benar. Â Hidup memang tak perlu banyak dipikirkan. Â Justru harus lebih banyak disyukuri. Â Hidup yang terlalu banyak dipikirkan akan menjadikan hidup tak enak, tak nyaman. Â Hidup yang banyak disyukuri yang akan semakin membuat hidup menjadi bervariasi. Â Berwarna. Â Dan kita semakin bahagia.
"Siap, Pak."
Hati Diah semakin benderang. Â Biarlah anjing menggonggong, hidup tetap tersenyum.